Tesis Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota X)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebutuhan akan pemerintahan yang efektif
adalah suatu keniscayaan bagi tiap masyarakat/negara, apapun model,
bentuk negara dan ideologi yang diadopsi dan bagaimanapun cara mereka
memandang sejauh mana batas keterlibatan atau peran pemerintah dalam
menangani urusan-urusan rakyatnya, terutama untuk mencapai tujuan
kesejahteraan rakyat.
Dalam kacamata pembangunan sosial sebagai suatu
pendekatan, cara pandang perspektif institusional (institutional
perspective), yang berupaya untuk memobilisir berbagai institusi sosial
termasuk pasar, masyarakat dan pemerintah/negara untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, manempatkan peran pemerintah di jajaran
terdepan. Posisi pemerintah yang memiliki peran yang besar tersebut juga
semakin menunjukkan urgensi terhadap pemerintah yang efektif baik dalam
memobilisir berbagai institusi sosial maupun menjalankan fungsi
utamanya sebagai pemberi pelayanan kepada masyarakat.
Menurut
Loughlin, pemerintahan yang efektif dalam wacana politik dan
pemerintahan dicirikan salah satunya adalah bersifat desentralistik,
bukan yang sentralistik berlebihan. Ini disebabkan adanya kekhawatiran
bahwa sentralisasi kekuasaan cenderung akan menimbulkan tirani. Maka di
sini dibutuhkan adanya pemerintahan daerah (berdasar azas
desentralisasi) yang juga berperan sebagai alat untuk mengakomodasikan
pluralitas di dalam suatu negara modern.
Keberadaan/pembentukan
daerah otonom melalui desentralisasi pada hakekatnya adalah untuk
menciptakan efisiensi dan inovasi dalam pemerintahan (Sarundajang,
2001:5). Dalam konteks pelayanan sebagai salah satu fungsi hakiki
pemerintahan, pelaksanaan asas desentralisasi melalui pemberian otonomi
kepada daerah dapat membuat penyediaan pelayanan publik juga menjadi
lebih efektif dan efisien. Hal ini menurut Rondinelli dalam Kurniawan
dapat terjadi terutama karena melalui otonomi terjadi optimalisasi
hirarkhi dalam penyampaian layanan akibat dari penyediaan pelayanan
publik dilakukan oleh institusi yang merniliki kedudukan lebih dekat
dengan masyarakat sehingga keputusan-keputusan strategis dapat lebih
mudah dibuat; juga karena adanya penyesuaian layanan terhadap kebutuhan
dan kondisi yang ada di tingkat lokal sehingga alokasi anggaran dapat
disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi yang ada di wilayahnya.
Kondisi
ideal tersebut tampaknya masih cukup sulit untuk diwujudkan di
Indonesia karena sejumlah alasan. Salah satu determinan yang menjadi
sorotan oleh berbagai kalangan adalah bahwa birokrasi peninggalan orde
baru yang cenderung lemah dan lamban, akan menghambat pelaksanaan
otonomi daerah. Dalam kondisi yang demikian, maksud penyelenggaran
otonomi daerah (penyediaan pelayanan yang efektif dan efisien. serta
pemerintahan yang efisien, inovatif) yang bermuara pada kesejahteraan
masyarakat tentu akan sukar dicapai.
** BAGIAN INI SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **
Angka tersebut di atas tergolong cukup tinggi dan mengkhawatirkan,
mengingat masalah pendidikan adalah unsur yang sangat menentukan
kemajuan bangsa di samping sebagai salah satu tolok ukur tingkat
kesejahteraan tentunya. ironisnya hal tersebut masih terjadi, padahal
sejak tahun 2003 melalui UU SPN (Sistem Pendidikan Nasional) No 20/2003
sudah ditetapkan alokasi dana minimal 20 persen dari APBN dan APBD.
Kenyataannya hal itu belum terpenuhi di tingkat nasional dan juga di
daerah-daerah.
Ketidakmampuan tersebut di atas, sebabnya cukup
beragam untuk masing masing daerah. Ada yang memang karena kemampuan
daerah yang sangat minim, tapi tidak jarang pula karena faktor birokrasi
pemerintahannya yang bermasalah. Daerah tersebut sebenarnya punya
kemampuan (karena kekayaan sumber daya alamnya misalnya), tetapi karena
kesalahan skala prioritas (dengan melaksanakan program mercusuar, rumah
dinas yang mewah dll), inefisiensi, korupsi dan lain sebagainya. Hal-hal
seperti inilah yang menurut Lusk sebagai penghalang upaya-upaya
pembangunan sosial dengan merujuk pada kondisi inefisiensi birokrasi
(bureaucratic inefficiency), peraturan/perundang-undangan yang
berbelit-belit (complex rules and regulations) dan korupsi pemerintahan
(political corruption) di Amerika Latin.
Problem yang dihadapi di
negeri ini dapat dikatakan relatif sama. Birokrasi Indonesia dan
negara-negara berkembang saat ini oleh Prasojo digambarkan sebagai
sesuatu yang berat, lambat, tidak kreatif dan tidak sensitif terhadap
publik. Islamy menilai birokrasi di kebanyakan negara berkembang
termasuk Indonesia cenderung bersifat negara patrimonialistik tidak
efesien, tidak efektif (over consuming and under producing). tidak
obyektif, menjadi pemarah ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik,
tidak mengabdi kepada kepentingan umum. tidak lagi menjadi alat rakyat
tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai
penguasa yang sangat otoritatif dan represif.
Penilaian lain juga
mengungkapkan, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hasil penelitian,
bahwa birokrasi di Indonesia ada kecenderungan berkembang kearah
“parkinsonian” dimana terjadinya proses pertumbuhan jumlah personil dan
pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali. Pemekaran
yang terjadi bukan karena tuntutan fungsi dan kebutuhan, tetapi
semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur. Disamping itu, terdapat
pula kecenderungan terjadinya birokrasi “orwellian” yakni proses
pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan
masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi. Akibatnya, birokrasi
Indonesia semakin membesar (big bureaucracy) dan cenderung tidak efektif
dan tidak efesien. Pada kondisi yang demikian, sangat sulit diharapkan
birokrasi siap dan mampu melaksanakan kewenangan-kewenangan barunya
secara optimal.
Seorang konsultan manajemen organisasi bisnis dan
publik sempat mengamati perilaku pegawai birokrasi (pemerintahan) di
salah satu propinsi kawasan Indonesia Timur. Sebagian pegawai datang
pukul delapan untuk absen, setengah jam kemudian pergi ke warung kopi
sampai pukul satu, kemudian kembali ke kantor dan pukul dua ia sudah
menghilang. Ketika berdialog dengan pimpinan mereka, sang Gubernur
langsung mengeluhkan “saya tidak tahu bagaimana caranya agar birokrasi
di tempat saya, bisa melayani rakyat lebih baik lagi. Saya tidak mau ada
filsafat “kalau bisa diperlambat, kenapa dipercepat” katanya. Dalam
kondisi yang seperti ini, berbicara peningkatan produktivitas kerja,
pelayanan prima akan terkesan terlalu dini.
Berbagai “penyakit’ pun
seakan tak pernah lekang dari tubuh birokrasi. Fenomena ini belakangan
sering disebut dengan istilah patologi birokrasi (penyakit birokrasi).
Siagian mencirikan kecenderungan patologi karena persepsi, perilaku
birokrasi dituding sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam dan
gaya manajerial, masalah pengetahuan dan ketrampilan. tindakan
melanggar hukum keperilakuan, dan adanya situasi internal. Kategorisasi
yang terdiri dari 5 poin itu, bila dirinci bisa melahirkan puluhan
penyakit birokrasi, seperti penyalahgunaan wewenang dan jabatan,
menerima sogok, mempertahankan status quo, penipuan, tidak peduli
kritik/saran, tidak mau bertindak, takut mengambil keputusan, kurangnya
komitmen, kurangnya kreativitas dan eksperimentasi. Kurangnya visi yang
imajinatif, nepotisme. patronase, keengganan mendelegasikan, ritualisme,
xenophobia, ketidakmampuan belajar dan berkembang, pura-pura sibuk,
cara kerja legalistik, tidak disiplin dan pertentangan kepentingan,
kurangnya prakarsa, ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko,
penggemukan pembiayaan, korupsi kontrak fiktif, bertindak
sewenang-wenang. kaku, tidak peka, tidak peduli mutu kinerja, tanggung
jawab rendah, kerja berbelit-belit, kerja asal jadi, tidak profesionaI,
pemborosan, ketidak tepatan sasaran dan tujuan, pengangguran
terselubung, terlalu banyak pegawai, sarana dan prasarana yang tidak
tepat, dan masih banyak jenis penyakit birokrasi lainnya (Siagian,
1994:35-145).
Munculnya ekonomi biaya tinggi, yang membuat rakyat
terbebani. Juga dituduh bertanggung jawab dalam munculnya “mentalitas
birokrasi” yang diidentikkan dengan pola perilaku 4-D: duduk, datang,
diam dan (dapat) duit. Bahkan birokrasi juga dituduh sebagai penyebab
menyebarnya kultur negatif, aji mumpung, korupsi dan sebagainya. Pada
birokrasi melekat stigma kaku, reaktif, inefisien. Jauh dari bayangan
ideal Weber tiga abad silam, yang sampai abad keduapuluh birokrasi
dipercaya sebagai satu-satunya organisasi yang bisa mengatur mekanisme
pemerintahan secara efisien.
Keburukan birokrasi memang sudah begitu
jelasnya dan telah menjadi gejala yang sangat merata. Mempersoalkannya
tidak lagi dirasakan sebagai kritik keilmuan dan tidak mesti datang dari
seorang pakar. Kesan negatif terhadap birokrasi meluas menjadi
pemahaman umum bagi masyarakat yaitu bahwa birokrasi adalah representasi
organisasi yang lamban dan terpusat, pemenuhan terhadap ketentuan dan
peraturan, serta rantai hirarkhi komando, tidak lagi berjalan baik.
Birokrasi menjadi bengkak, boros dan tidak efektif.
Saat ini
kesadaran terhadap problem yang melekat pada birokrasi akhirnya
mengantarkan pada suatu kesimpulan bahwa harus ada “sesuatu” untuk
memperbaiki kebobrokan birokrasi sebagai organisasi publik. Sesuatu itu
adalah “perubahan/pembaharuan”. Dalam wacana akademik maupun praktisi
muncul istilah-istilah seperti reformasi birokrasi, reformasi
administrasi, reformasi manajemen sektor publik dan lain sebagainya.
Walaupun latar belakang lahirnya dan definisi-definisi tersebut tidak
sama persis, namun mempunyai titik temu pada upaya pembenahan
pengelolaan sektor publik secara lebih baik, lebih profesional.
Penerapan
pendekatan manajemen profesional pada sektor publik telah banyak
disuarakan oleh para pakar dengan berbagai istilah, misalnya dengan nama
“managerialism” oleh Pollitt, “new public management” oleh Hood,
“market based public administration” oleh Lan dan Rosenbloom, dan
“entrepreneurial government/reinventing government” oleh Osborn dan
Gaebler. Apapun istilah yang dipergunakan, yang jelas pendekatan
manajemen profesional ini telah merubah orientasi fokus peran dan fungsi
birokrasi dalam pemerintahan yang semula lebih mementingkan “process”
menuju ke “product’, atau dari “rule governance” menuju ke “goal
governance”, yang pada pelaksanaannya membutuhkan paradigma baru,
inovasi, perubahan struktur, kreativitas, tekad/keberanian, efisiensi
tinggi, kecepatan, fleksibelitas, optimisme, kegigihan dan lain
sebagainya berupa nilai-nilai yang sebelumnya dianggap hanya milik
organisasi bisnis dan para entrepreneur.
Dalam konteks Indonesia,
upaya perbaikan citra/pembenahan birokrasi yang telah mengalami
“distorsi” memang sudah mulai dilakukan. Reformasi 1998 dan otonomi
daerah dalam hal ini menduduki peranan yang strategis. Otonomi daerah di
Indonesia dapat dikatakan buah dari reformasi sekaligus salah satu
wadah dari reformasi birokrasi. Keberadaan reformasi birokrasi sendiri
sudah merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi demi tercapainya
apa yang biasa disebut good governance. Arus good governance ini menjadi
penting sebagai salah satu aspek reformasi Yang dituntut oleh
masyarakat yang memiliki makna mencakup transparansi pengelolaan negara,
akuntabilitas terhadap publik dan masyarakat yang partisipatif terhadap
kebijakan pemerintah yang merupakan bentuk dari tata kelola
pemerintahan yang baik.
Pelaksanaan otonomi daerah idealnya akan
mengubah perilaku pemerintah daerah untuk lebih efisien dan profesional.
Untuk itu, pemerintah daerah perlu melakukan perekayasaan ulang
terhadap birokrasi yang selama ini dijalankan (bureaucracy
reengineering). Hal tersebut karena pada saat ini dan di masa yang akan
datang pemerintah (pusat dan daerah) akan menghadapi gelombang perubahan
baik yang berasal dari tekanan eksternal maupun dari internal
masyarakatnya. Dari sisi eksternal, pemerintah akan menghadapi
globalisasi yang sarat dengan persaingan dan liberalisme arus informasi,
investasi, modal, tenaga kerja, dan budaya. Di sisi internal,
pemerintah akan menghadapi masyarakat yang semakin cerdas (knowledge
based society) dan masyarakat yang semakin banyak tuntutannya (demanding
community).
Kecenderungan peningkatan kecerdasan masyarakat dan
banyaknya tuntutan yang mereka serukan akan menjadi pressure bagi
pemerintah. Yang ditujukan tentu adanya optimalisasi pelayanan publik
yang diberikan oleh pemerintah. Pelayanan publik yang optimal akan
mustahil tercapai tanpa adanya organisasi pemerintah daerah yang bekerja
secara profesional dan efisien serta memiliki sumber daya aparatur yang
memiliki jiwa kewirausahaan. Ini mutlak dibutuhkan mengingat sumber
daya terbatas (dana, personal, peralatan) sementara tuntutan akan out
put tetap maksimal. Hal ini juga dimaksudkan sebagai salah satu upaya
agar ditengah gelombang tekanan politik (political pressures) domestik
maupun luar negeri kesulitan anggaran dan keuangan (fiscal pressures),
pemerintah dan pemerintah daerah bisa terhindar dari keterpurukan dan
kebangkrutan.
Hal tersebut memang bukan persoalan mudah. Namun,
secara teoritik, salah satu prasyarat penting agar birokrasi pemerintah
dapat mendinamisasikan dirinya ialah dengan cara mentransfomasikan diri
dari birokrasi yang kaku menjadi organisasi pemerintahan yang
strukturnya desentralisasi, inovatif, fleksibel dan responsif.
Setelah
pelaksanaan otonomi daerah, beberapa pemerintah daerah terbukti telah
membentuk sistem birokrasi yang lebih mudah bagi pelayanan publik. Dalam
beberapa daerah studi, hal ini menghasilkan rasionalisasi tata kerja,
jam kerja dan transparansi yang lebih besar. Penyederhanaan ini
khususnya muncul dalam kasus pemberian ijin. Pelayanan ini menjadi lebih
mudah dan lebih efisien, dan dilakukan dalam satu atap. Pemerintah
pusat juga mendorong Pemkab dan Pemko untuk mengembangkan sistem
pelayanan satu atap atau Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap
(SAMSAT) untuk tujuan ini. Se!ain itu, rasionalisasi pada divisi tenaga
kerja menghasilkan penyerahan kewenangan dan tanggung jawab
administratif yang lebih besar.
Selama beberapa tahun terakhir ini
semenjak diberlakukannya otonomi (mulai dari UU No 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah sampai sekarang setelah keluar UU No. 32/2004), kita
mulai melihat adanya nuansa baru dalam praktek pemerintahan di daerah
yang menangkap bola otonomi melalui program-program inovatif dan
terobosan-terobosan baru yang di era orde baru hampir tidak pernah
terdengar. Kita dapat mengetahui sejumlah inovasi program yang telah dan
sedang dilakukan oleh sejumlah pemerintah daerah. Sebut saja inovasi
program yang dilakukan oleh Pemerintah Pemko Banjarnegara melalui
Pembenahan Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Banjarnegara dan
Tabanan, Pemko Deli Serdang melalui Pembentukan LEPP-M3 (Lembaga Ekonomi
Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina) sebagai upaya Pemberdayaan
Ekonomi Masyarakat Pesisir serta melalui Pengembangan Kerjasama
Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Saluran Irigasi yang Partisipatif.
Pemko Gianyar melalui Program Gianyar Sejahtera (PGS) dan Pemko Sumba
Timur dengan Pelatihan Aparatur Pemerintahan Desa (Apkasi, 2003 dalam
Prasojo, Dkk, 2004:2).
Daerah lain yang juga punya prestasi yang
tidak kalah menariknya seperti Sragen. Pemko Sragen beberapa waktu
sempat memperoleh penghargaan sebagai daerah dengan iklim investasi
terbaik se-Jawa Tengah. Predikat iklim investasi terbaik yang disandang
oleh Pemko Sragen tidak lepas dari upaya efisiensi birokrasi, kecepatan,
kepastian dan faktor keamanan. Upaya Pemerintah Pemko Sragen untuk
menarik investasi di antaranya adalah penyediaan informasi daerah. dan
pelayanan one stop sevice (OSS), kemudahan, jaminan keamanan dan
dukungan sarana prasarana.
Pemko Kudus belakangan juga menjadi
sorotan para Walikota-waIikota. Para Walikota tersebut ingin belajar
dari Pemko Kudus. Walikota Kudus dengan pola pelayanan izin satu
pintunya mampu mendongkrak investasi di daerahnya hingga mencapai 250%.
Oleh karenanya, tidak heran bila Walikota Kudus mendapatkan. “Pemuda
Award 2005″, karena prestasinya di bidang ini.
Hal yang sama juga
terjadi di Sragen, Walikota Sragen menempuh pola Yang tak kalah
inovatif, memberikan pelayanan tanpa dipungut biaya bagi IKM/UKM pemula.
Langkah Walikota Sragen. tersebut bukan tanpa tantangan, karena ia
harus menghadapi kepentingan banyak lembaga birokrasi yang sudah
mendapat kenyamanan karena eksklusivisme dan egosektoralnya selama ini,
dan untuk itu perlu keberanian dan komitmen besar untuk menatanya secara
terpadu. Dampaknya pun langsung terlihat, karena dengan pelayanan satu
pintunya, Walikota Sragen mampu menumbuhkan wirausahawan baru secara
sangat signifikan di daerahnya sampai 700% pada Tahun 2004. Dampak
ikutannya adalah peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sragen yang
signifikan. Maka tak ketinggalan Walikota lain di Jawa Tengah seperti
Walikota Wonosobo, Banjarnegara, dan Purbalingga. ikut merevolusi
pelayanan publiknya dengan pola yang sama.
Satu lagi daerah yang
belakangan ini sering menjadi perbincangan di era otonomi daerah adalah
Pemerintah Kota X. Hal ini dikarenakan sejumlah program inovasi yang
digulirkan oleh Pemerintah Kota X yang terbukti mampu mengangkat derajat
perekonomian dan kehidupan masyarakatnya.
Persoalan yang terjadi
selama ini dalam konteks kesejahteraan rakyat adalah kemampuan keuangan
atau APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) suatu daerah yang tinggi
tidak menjamin terjadinya peningkatan kesejahteraan yang signifikan bagi
masyarakatnya. Daerah-daerah yang tergolong “sedang” juga menghadapi
problem yang sama., apalagi daerah-daerah yang tergolong” miskin”, yang
merasa lebih tidak mampu lagi untuk memberikan pelayanan lebih baik
kepada masyarakatnya. Hal yang sering terjadi, anggaran dana yang
tersedia setiap tahunnya sebagian besar terserap hanya untuk kebutuhan
operasional birokrasi pemerintah daerah. Tidak banyak pemerintah daerah
yang dapat memberikan pelayanan optimal terhadap hal yang berhubungan
langsung dengan kebutuhan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan
lain sebagainya dengan alasan tidak tersedianya dana untuk itu. Padahal
persoalan yang sesungguhnya bisa jadi bukan pada jumlah dana yang
sedikit, tapi bagaimana pengelolaan dana/sumber daya tersebut dapat
dilakukan secare efisien.
Efisiensi merupakan hal yang secara
normatif memang harus dilaksanakan oleh organisasi manapun. Dari sisi
normatifnya pula, efisiensi adalah sesuatu yang mudah diucapkan oleh
siapapun tapi tidak mudah untuk dilaksanakan dan tentu bukannya
merupakan sesuatu yang bebas kendala. Ini menarik untuk dikaji secara
lebih mendalam.
1.2. Permasalahan
Dari pemaparan di atas tampak bahwa otonomi
telah membawa angin baru dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di
daerah. Persoalan distorsi birokrasi yang sebenarnya adalah masalah
klasik sudah seharusnya segera diselesaikan dengan semangat reformasi
birokrasi, diiringi optimisme, inovasi, serta keberanian untuk melakukan
perubahan.
Otonomi daerah adalah momen yang tepat. Kewenangan luas
yang diberikan kepada daerah memberi kesempatan besar untuk melakukan
banyak hal, tentu di tengah berbagai keterbatasan, tantangan dan
persoalan yang muncul yang merupakan implikasi dari penerapan otonomi
itu sendiri.
Daerah-daerah menghadapi keterbatasan, tantangan dan
persoalan tersebut secara berbeda dan menghasilkan sesuatu yang berbeda
pula. Sebagian daerah menangkap bola otonomi dengan antusias dan
kreativitas tinggi dalam rangka optimalisasi pelayanan publik dan
mencapai kesejahteraan rakyat. Salah satu daerah yang layak mendapat
apresiasi dalam hal ini adalah Pemerintah Kota X yang telah melakukan
banyak hal berupa program-program inovatif dengan keterbatasan yang sama
dengan daerah !ain.
Sejauh ini telah diketahui melalui penelitian
yang dilakukan sebelumnya (Prasojo dkk, 2004) bahwa kata kunci
keberhasilan berbagai program di atas dari sisi pemerintah daerahnya
adalah penerapan pola efisiensi birokrasi secara ketat di segala bidang.
Mengingat efisiensi adalah sesuatu yang tidak mudah untuk dilaksanakan,
maka peneliti tertarik untuk mendalami seperti apa strategi efisiensi
yang dilakukan dan apa saja kendalanya. Pertanyaan penelitian adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana strategi efisiensi dan pelaksanaannya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota X?
2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat dan pendukung dalam pelaksanaan strategi efisiensi tersebut?
3. Bagaimana peran kebijakan strategi efisiensi terhadap kesejahteraan rakyat di X?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan, ada tiga tujuan yang dicapai dalam penelitian ini, yakni:
1.
Menggambarkan strategi efisiensi dan pelaksanaannya yang dilakukan oleh
Pemerintah Kota X sebagai salah satu faktor kunci keberhasilan dalam
pelaksanaan program program inovatif.
2. Menggali dan mendiskripsikan faktor-faktor penghambat dan pendukung pelaksanaan strategi efisiensi tersebut.
3. Mengetahui peran strategi efisiensi yang dilakukan terhadap pelayanan publik dan program peningkatan kesejateraan rakyat X.
1.4. Manfaat Penelitian
Sejalan dengan tujuan di atas penelitian
ini diharapkan dapat memberi konstribusi pada pengembangan kajian di
Bidang Otonomi dan Pemerintahan Lokal yang merupakan objek bahasan utama
dalam konsentrasi Otonomi dan Pembangunan Lokal dan juga dalam kajian
pembangunan sosial, di mana seperti yang dikatakan Lusk dalam Midgley
bahwa birokrasi yang inefisien merupakan salah satu penghalang
upaya-upaya pembangunan sosial. Selain itu dalam rangka menambah
pengetahuan dan pengalaman penulis dalam penelitian ilmiah di Bidang
Pemerintahan Lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar