Oleh : Hermanto Rohman
Pendahuluan
Harapan masyarakat bahwa Keberhasilan pemerintah untuk menyelenggarakan pemilu yang demokratis sebagai proses awal dalam membentuk pemerintahan yang baru, pemerintahan yang akan mampu memerangi KKN dan membentuk pemerintahan yang bersih masih jauh dari realitas. Keinginan masyarakat untuk menikmati pelayanan publik yang efisien, responsive, dan akuntabel masih jauh dari realitas. Pemerintahan yang baru dengan orang-orang yang baru tidak mampu untuk memperbaiki citra kinerja birokrasi publik yang sudah terlanjur buruk bahkan tidak jarang justru perangkat dan lumpur KKN semakin memperburuk birokrasi publik kita. KKN dan rendahnya kualitas pelayanan birokrasi pemerintahan adalah bagian dari rendahnya komitmen pemerintah dalam membenahi sistem birokrasi publik. Reformasi dalam politik yang selama ini lebih diperhatikan dengan tidak diikuti reformasi dalam birokrasi ternyata tidak banyak menghasilkan perbaikan kinerja pelayanan publik. Dengan birokrasi yang masih sangat korup bersikap sebagai penguasa dan tidak professional maka perubahan apapun yang terjadi dalam pemerintahan tidak akan membawa dampak yang berarti dalam perbaikan kinerja, perbaikan pelayanan publik. Karenanya menjadi sangat wajar kalau perbaikan dalam kehidupan politik yang menjadi semakin demokratis sekarang ini belum membawa dampak yang berarti pada kinerja birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik.
Di Indonesia birokrasi sering di Identikkan dengan pegawai negeri yang lamban dan korup. Pelbagai intansi di Indonesia dari tingkat pusat dan daerah menjadi sarang “ premanisme”, pusat “ngobyek” dan bebas mengatur jam keraja. Satu kasus siang pertengahan pekan Kompas mendatangi Kantor Badan Pertanahan Nasional di Bogor saat masih jam kerja pukul 14.30 tetapi sejumlah loket pelayanan seperti bagian informasi sudah kosong ditinggalkan petugas (Kompas, 26 maret 2005 ). Kondisi ini juga tidak jarang bisa dilihat dikantor-kantor instansi dinas di daerah-daerah dan ini merupakan fenomena lumrah dalam melihat “wajah” birokrasi pemerintahan di Indonesia. Belum lagi image pelayanan publik di tingkatan prosedur / aturan yang memakan waktu dan biaya yang mahal. Di Indonesia untuk mendirikan usaha biaya administrasi 130,7 % dari pendapatan perkapita penduduk dengan prosedur waktunya 151 hari ( kompas, 26 Maret 2005 ). Hal ini sangat kontras sekali dengan negara maju bila prosedur normalnya adalah memakan waktu rata-rata 27 hari dan biaya sekitar 8 % dari pendapatan perkapita penduduk. Kondisi ini juga terjadi ketika pengurusan KTP,HO, paspor, akta catatan sipil dan berbagai pelayanan perijinan lainnya, yang juga membutuhkan prosedur yang panjang dan biaya ( bureaucratic cost ) yang mahal. Belum lagi ini akan dijamin tepat waktu sesuai yang dijanjikan oleh aturan, dalam keadaan ini akan dimanfaatkan terjadinya KKN dimana masyrakat diharuskan membayar lebih mahal dari biaya yang ditetapkan bila ingin mendapat fasilitas ketepatan dan kecepatan dalam pelayanan. Sehingga sering kita dengar muncul bahasa dalam birokrasi kita “ kalau sebuah urusan bisa dipersulit kenapa harus dipermudah “ atau sebaliknya “ kenapa dipersulit kalau memang bisa dipermudah….. dan mau dibantu !! “ , “ semua bisa beres asal tahu sama tahu “. Meluasnya praktik-praktik semacam ini dalam birokrasi publik semakin mencoreng image masyarakat terhadap birokrasi.
Dalam melihat birokrasi di Indonesia mentalitas birokrat yang dilumuri KKN rupanya masih melekat dimata publik setiap kali berhadapan dengan aparat birokrasi dan cara kerja mereka. Anggapan negatif ini menemukan aktualisasinya pada ketidak efektifan dan ketidakefisien mereka dalam melayani masyrakat. Sejak reformasi bergulirdi lapangan politik, sampai saat ini belum tampak semangat memasuki wilayah birokrasi. Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan oleh kompas pada 16-17 Maret 2005 dan berbagai jajak pendapat yang dilakukan secara berkala dalam lima tahun terakhir. Penilaian 62 persen responden yang menyatakan aparat pemerintah belum terbebas dari KKN setiap kali menjalankan kerjanya merupakan cermin kegagalan birokrasi. Hanya 15 persen responden yang menilai aparatur pemerintah sudah terbebas dari praktik KKN. . Tiga hal yang dirasakan masyrakat setiap berhadapan dengan birokrasi :
- Waktu relatif lama hampir 50 % responden mengatakan kerja aparat pemerintah lambat. Sebanyak 43 % berpendapat lain, tidak semua lembaga pemerintah sengaja memperlama proses penyelesaian urusan atau persoalan rakyat. Inilah yang diperlihatkan pemerintah Kabupaten Sragen , dengan layanan professional yang diterapkan melalui Kantor Pelayanan Terpadu yang mewadahi 17 layanan perijinan dan 10 layanan non perijinanan dalam satu pintu ( kompas, 23 februari 2005 ).
- Prosedur yang berbelit-belit, sekitar 45 % responden menyatakan prosedur yang mereka tempuh setiap berurusan dengan aparatur pemerintah cukup ringkas. Sebaliknya, hampir separuh responden menyatakan masih berbelit-belit, khususnya mengenai perijinan untuk berusaha. Di Jakarta untuk mendapatkan dan menyelesaikan proyek seorang pengusaha harus melalui sekitar 50 meja.
- Ongkos-ongkos atau biaya yang mesti dikeluarkan masyarkat setiap berurusan dengan aparatur pemerintah selama ini. Sebanyak 46 % responden menilai besarnya ongkos yang dikeluarkan untuk mendapatkan pelayanan dari aparat pemerintahan.
Berbagai upaya untuk menciptakan organisasi publik yang lebih sesuai dengan tuntutan masyarakt telah dilakukan dengan berbagai resep misalnya redesigning ,reengineering, debirokratisasi, perampingan, reformasi, banishing dan sebagainya. Hal itu muncul seiring dengan perkembangan jaman dan harapan akan pelayanan oleh organisasi publik ( birokrasi ), lebih mengarah pemberian layanan publik yang lebih professional, efektif, effisien, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsive dan adaptif. Untuk mencapai agar organisasi mampu mengikuti perkembangan masyarakat , mampu tetap hidup dan berdaya guna bagi masyarakat maka organisasi harus senantiasa melakukan pengembangan organisasi ( organization Development ) kearah yang “kompetitif, adaptif dan responsive “( Widodo, 2001 : 76 ). Untuk itu perlu reformasi kelembagaan dan administrasi dalam pelayanan kepada publik, dan reformasi kelembagaan dan administrasi berarti melakukan pembangunan atau pengembangan organisasi ( organization development ).
Ruang Lingkup dan Batasan masalah
Setiap penulisan membutuhkan ruang lingkup materi pembahasan untuk memberikan batasan terhadap luasnya sebuah persoalan. Batasan ruang lingkup tulisan ini pada pembahasan tentang pengembangan organisasi birokrasi. Organisasi birokrasi yang dimaksud adalah oraganisasi birokrasi pemerintahan. Dimana birokrasi pemerintahan yang harus mampu untuk menyesuaikan dengan tuntutan dan perkembangan yang ada dari masayarakat. Untuk itu tulisan ini bertolak pada pendapat-pendapat sebagai berikut :
1. “ Pemerintahan pada hakikatnya adalah pelayanan pada masyarakat, ia tidaklah diadakan untuk melayani diri sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuannya dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama “ (Rasyid ( 1998 : 139 )
2. Untuk mencapai agar organisasi mampu mengikuti perkembangan masyarakat , mampu tetap hidup dan berdaya guna bagi masyarakat maka organisasi harus senantiasa melakukan pengembangan organisasi ( organization Development ) kearah yang “kompetitif, adaptif dan responsive “( Widodo, 2001 : 76 ).
Dari pendapat tersebut formulasi-formulasi sebagai pattern yang berkembang saat ini yang akan di gambarkan tulisan ini sebagai kerangka untuk menjawab persoalan diatas adalah
1. Intellegent organization sebagaimana uraian Gifford Pinchot dan Elizabet Pinchot dalam bukunya The end of Bureucracy and the Rise of Intellegent Organization ( 1993 ) yang menguraikan timbul tenggelamnya birokrasi dan memberikan tujuh inti organisasi cerdas.
2. Learning Organization sebagai tindak lanjut dari “organisasi yang cerdas”. Dimana melalui learning organization dapat menumbuhkan komitmen dalam individu atau kelompok dalam oragisasi birokrasi sehingga mampu menciptakan produk pelayanan yang inovatif sesuai dengan tuntutan masyarakat.
3. Good Governance sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang tidak semata-mata didasarkan pada pemerintah ( government) atau negara (state) tapi harus melibatkan seluruh elemen baik intern birokrasi maupun di luar birokrasi publik ( masyarakat ).
Penjelasan tentang konsep diatas yang diharapkan mampu melengkapi dan menjadi landasan pemahaman dalam menjelaskan masalah yang akan diangkat dari tulisan ini.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah adalah aspek yang harus ada dalam tulisan, berdasarkan realitas yang muncul dalam latar belakang tulisan ini dan batasan masalah diatas maka rumusan masalah yang hendak dijawab adalah :
“Bagaimana pengembangan organisasi birokrasi kearah yang “kompetitif, adaptif dan responsive untuk mampu mengikuti perkembangan masyarakat , mampu tetap hidup dan berdaya guna bagi masyarakat “
Pengertian Birokrasi Pemerintahan
Berbagai sumber berpendapat, setidak-tidaknya ada tiga macam arti birokrasi. Pertama birokrasi diartikan sebagai “government by Bureus” yaitu pemerintahan biro oleh aparat yang diangkat oleh pemegang kekuasaan, pemerintah atau atasan dalam organisasi formal baik publik maupun privat ( Rigss,1971 : 377 ); jadi pemerintahan yang birokratik adalah pemerintahan tanpa partisipasi pihak yang diperintah ( Rigss mengutip Michel Crozier dalam Riggs, ed, 1971: 375 ). Kedua, birokrasi diartikan sebagai sifat atau perilaku pemerintahan, yaitu sifat kaku, bertele-tele,dan tuduhan yang negatif terhadap instansi yang berkuasa ( Kramer,1977 : 34 ), singkatnya birokrasi sebagai Bureu-phatology ( Rigss, 1971 : 376 ). Birokrasi dalam arti ini banyak ditulis oleh Pinchot dan Pinchot (1993 ), Arif Budiman ( 1988), Siagian (1994 ), dan ada juga yang menganjurkan Reformasi Birokrasi Agus Dwiyanto, 2002), bahkan ada yang ingin memangkasnya (banishing) ( Osborn dan Plastrik e.d Indonesia 2002 ). Ketiga, Birokrasi sebagai tipe ideal organisasi, dimulai dari teori Max Weber tentang konsep sosiologik rasionalisasi aktivitas kolektiv ( Gibson, Ivanicevic dan Donnelly, 1974 : 73 ).
Birokrasi Weber memusatkan perhatiannya pada “consequences of Bureucratic organization for the achievement of bureaucratic goals ( primarily the goals of a political authority) “. Ada dua macam konsekuensi yang dapat diantisipasi dan yang tidak, keduanya dipengaruhi oleh dua kekuatan : Pertama, karakteristik birokrasi; Kedua, karakteristik manusianya / pejabat birokrasi. Weber mencontohkan birokrasi dimiliter yang lingkungannya dibentuk seperti mesin, yang pada gilirannya mengontrol kedua macam konsekuensi itu. Untuk itu birokrasi kadang terlihat kondusif tetapi pada saat lain represif. Berbeda dengan birokrasi model Merton yang berawal pada “a demand for control made on the organization by the top hierarchy”. Dimana segenap warga dalam organisasi dapat dipercaya( emphasis on reliability ), untuk itu perilaku nereka harus diatur setiap tindakan harus dipertahankan ( defensibility of individual action ). Hal –hal ini akan memunculkan akibat yang dikehendaki (intended results ), seperti keteraturan dan ketaatan, kedisiplinan. Tetapi juga timbul akibat yang tidak diharapkan ( unintended ) misalnya perilaku organisasi yang kaku, terbatas ( rigid ), dan sulit berubah. Hal itu muncul karena kontrol yang ketat dan kewajiban untuk mempertahankan kedudukan organisasi ( organisasi defense of status ). Perilaku ini pada gilirannya mempengaruhi hubungan pada klien atau konsumer ( amount of difficulty with clients ), sehingga birokrasi dikatakan kaku dan menyulitkan.
Jika Merton dengan penekanan pada aturan sebagai alat kontrol maka Selznick memberi tekanan pada pada delegasi kewenangan ( delegation of authority ). Pendelegasaian kewenangan ini akan menimbulkan dualisme kepentingan yaitu kepentingan organisasi versus kepentingan sub unit yang bersangkutan. Model Gouldner sama seperti model Merton, bermula pada tuntutan akan kontrol pucuk pimpinan atas seluruh organisasi. Aturan-aturan umum menjadi kontrol dan dasar hubungan kekuasaan antar sub units. Hal ini pada gilirannya akan mempengaruhi keteganagan interpersonal dalam organisasi ( level of interpersonal tension ).
Proses organisasional dalam model birokrasi diatas akan mempengaruhi kemampuan birokrasi dalam mencapai tujuannya, terutama dalam memproduksi tuntutan masyarakat. Kemampuan birokrasi akan ditandai dengan kemampuan pengaruh mempengaruhi antara birokrasi dan lingkungannya. Derajat Kemampuan birokrasi untuk mengontrol lingkungannya inilah akan mennjukkan rationality birokrasi ( bureucratism ), sedangkan derajat ketidak berdayaan dalam mengontrol perkembangan lingkungan menunjukkan pathology birokrasi ( Bureaunomia ), (Rigss, 1971 ,382 ).
Birokrasi Publik ( public bureaucracy ) merupakan birokrasi dalam organisasi formal yang memproses public goods. Sedangkan Birokrasi Pemerintahan didefinisikan sebagai struktur pemerintahan yang berfungsi memproduksi jasa-publik dan layanan- civil tertentu berdasarkan kebijakan yang ditetapkan dengan mempertimbangkan berbagai pilihan lingkungan. Pemerintah selaku Provider harus mengantar dan menyerahkan produk itu sampai ditangan(hati) konsumer pada saat dibutuhkan. Supaya harapan itu menjadi kenyataan konsumer harus disiapkan dan diberdayakan. Agar birokrasi mampu mampu memberdayakan konsumer produk-produk pemerintahan sehingga konsumer mampu mendapat sebesar-besarnya maka pemerintahan harus mampu menjadi responsiveness birokrasi. Kemampuan birokrasi ini akan ditandai dengan kemampuan pengaruh mempengaruhi antara birokrasi dan lingkungannya ( konsumer ). Sehingga birokrasi bukan sebagai pathology karena ketidak berdayaannya dalam mengontrol perkembangan lingkungan.
Intellegent Organization
Konsep organisasi cerdas atau intellegent organization merupakan reaksi terhadap derajat ketidak berdayaan birokrasi dalam mengontrol perkembangan lingkungan yang menjadikan pathology birokrasi ( bureaunomia ) yang menggejala jauh kedalam struktur, manajemen dan budaya organisasi selama ini dan juga sebagai jawaban akan tuntutan pembaharuan birokrasi sebagai pelayan publik di masa depan. Setelah menguraikan timbul tenggelamnya birokrasi dalam The end of bureucracy and the Rise of the Intellegent Organization ( 1993 ), Gifford Pinchot dan Elizabeth Pinchot dalam buku yang sama menjelaskan tujuh inti organisasi cerdas:
- Freedom of choice ( kebebasan memilih ) merupakan kondisi untuk membangun rasa tanggung jawab dan self–commitment setiap orang. Ada tiga hal yang melandasi kondisi tersebut :
2. Freedom of interprise, setiap orang bekerja sesuai dengan pengetahuan, keahlian dan ketrampilannya guna memenuhi harapan konsumer.
3. Liberated (empowered) teams, Bekerja sebagai tim artinya bahwa sebuah tim terdapat anggapan bahwa tidak ada manusia yang sempurna setiap orang ada kelebihan dan kekurangan dan masing-masing individu dalam tim akan salaing menutupi
- Responsibility for the whole ( tanggung jawab untuk keseluruhan ) adalah kondisi yang diperlukan guna membangun hubungan kerjasama produktif antara warga organisasi dengan masyrakat lingkungan. Ada tiga hal yang melandasi kondisi tersebut :
5. Voluntary learning networks yaitu jaringan –belajar secara sukarela secara menyeluruh, guna meningkatkan kecerdasan setiap warga organisasi dengan demikian setiap orang mampu memberikan sumbangan sebesar-besarnya kepada masyarakat. Masyarakat yang cerdas adalah masyrakat yang mampu berpikir panjang sadar akan akibat setiap tindakannya dan mengapa ia berbuat demikian.
6. Democratic self-rule artinya organisasi harus tersusun dan belajar secar demokratik.
- Kendatipun organisasi cerdas mengandalkan kekuatan intelegensia manusia, kedua landasan diatas memerlukan ambang yang menguatkan yaitu, (7) limited corporate government. Yang berarti elemen kekuasaan bagaimanapun tetap diperlukan oleh setiap organisasi, guna menegakkan setiap aturan main yang telah disepakati bersama. Disebut “limited” karena kekuasaan itu hanya diperlukan sebagai alat bukan tujuan.
Learning Organization
Iklim yang kompetitif dan akselerasi perubahan lingkungan yang semakin tinggi menuntut organisasi birokrasi untuk mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan lingkungan agar mampu bertahan dan mapu untuk berkompetitif. Salah satu cara untuk mencapai kondisi tersebut adalah melakukan transformasi organisasi menuju Learning organization. Garvin ( 1993 ) memandang learning organization sebagai pengorganisasian kreativitas, kecakapan dan transfer knowledge sehingga mampu memperbaiki perilaku dan menemukan knowledge yang baru. Learning organization dapat dilihat sebagai pemberdayaan individu atau kelompok dalam organisasi sehingga mampu menciptakan produk dan jaringan kerja yang inovatif baik dari dalam dan diluar organisasi.
Hal ini menjadi penting karena organisasi dituntut untuk bisa melakukan perubahan ditengah persaingan yang semakin global, Esperjo dkk ( 1996 ) mengatakan “the competitive landscape is changing, and the new models of competitivness are needed to deal with the chalenges a head” . Pernyataan ini menunjukkan bahwa organisasi dituntut untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan sehingga organisasi mampu memberikan kualitas produk dan jasa kepada pelanggannya mengingat kompetisi yang makin meningkat. Berdasar hal tersebut maka pengembangan dan perubahan organisasi merupakan kebutuhan yang nyata dari organisasi. Menurut Gibson ( 1994 ) prinsip pembelajaran dalam konteks pengembangan organisasi memiliki tiga tahap :
Pertama,unfreezing old learning. Membutuhkan orang yang ingin mempelajari cara baru untuk bertindak dengan kata lain pola lama dicairkan dulu. Artinya pendapat lama, paradigma lama dan orang-orang yang masih bersikukuh didalamnya harus mapu untuk dirubah.Kedua, Movement to new learning. Pergerakan ke pembelajaran baru dimana membutuhkan pelatihan, demontrasi, dan pemberdayaan ( empowerment ). Ketiga Refreezing the learned behavior. Pembekuan kembali perilaku yang telah dipelajari terjadi melalui penerapan penguatan dan umpan balik. Dua prinsip ini menyarankan agar pola baru yang teradaptasi oleh lingkungan intern maupun ekstern organisasi.
Ketiga tahapan ini akan terus berubah karena perubahan terus terjadi ( change,change and change again ). Dengan kata lain organisasi membutuhkan transformasi secara terus menerus ntuk menciptakan dan mempertahankan perubahan. Organisasi dalam menghadapi perubahan maka organisasi membutuhkan transformasi secara fundamental agar bisa survive. Organisasi harus inovatif dan kreatif serta fleksible dalam menghadapi perubahan. Transformasi organisasi yang diperlukan antara lain berupa ( Guillart and Kelly , 1995):
1. Pendekatan Reframing dalam organisasi.
Pendekatan reframing organisasi diperlukan untuk menggeser konsep dasar bagaimana organisasi bisa mencapai tujuannya. Dimensi reframing terdiri dari tiga unsure seperti :
1. Mencapai mobilisasi ( achive mobilization ), merupakan usaha-usaha untuk menumbuhkan komitmen mulai dari tingkat individu, tim dan organssasi secara keseluruhan.
2. Menciptakan Visi ( create vision ) . Menciptakan visi organisasi akan mempersiapkan arah organisasi kemasa depan, sedangkan mobilisasi berusaha menciptakan segala potensi untuk pencapaian visi organisasi.
3. Membangun system pengukuran ( build a measurement System ). Merupakan langkah yang yang perlu dilakukan oleh pemimipin dengan menerjemahkan visi kedalam seperangkat ukuran-ukuran dan mendefinisikan tindakan-tindakan untuk mencapai target yang ditetapkan . System pengukuran ini mencakup aspek manajemen kinerja di dalam suatu organisasi.
2. Pendekatan Strategy Restrukturisasi
Pendekatan Restrukturisasi berkaitan dengan bentuk organisasi dan tingkat kompetisi yang akan dicapai organisasi. Bentuk Organisasi yang ramping, datar dan sesuai dengan kebutuhan organisasi merupakan pertimbangan yang utama dalam melakukan restrukturisasi. Restrukturisasi merupakan domain dimana pengurangan jumlah pegawai yang makin meningkat dan kesulitan budaya yang makin besar. Kadang-kadang pemberhentian dan kegelisahan pegawai merupakan efek yang tidak bisa dihindarkan dalam proses restrukturisasi. Dalam pendekatan restrukturisasi ada 3 unsur yang meliputi :
- Membangun model ekonomi, dimana memberikan pandangan pada organisasi bagaimana suatu nilai diciptakan batau dihilangkan dalam organisasi.
- Mengintegrasikan infrastruktur fisik, dimana ini menjadi salah satu ukuran penting terhadap arah dan strategy suatu organisasi.
- Mendesain kembali arsitektur pekerjaan
Sistem revitalisasi merupakan usaha untuk mendorong pertumbuhan dengan mengaitkan keseluruhan organisasi dengan lingkungannya. Setiap orang dalam organisasi itu ingin berkembang tetapi sumber perkembangan dan pertumbuhan itu sulit dipahami. Sistem revitalisasi terdiri atas tiga komponen :
- Achieve market focus, strategy memfokuskan pada pasar merupakan usaha untuk menghubungkan pola piker organisasi secara keseluruhan pada lingkungannya. Sisterm revitalisasi memusatkan pada kepentingan pelanggan ( konsumer ) sehingga membawa pertumbuhan organisasi.
- Invent new business, strategy menemukan bisnis baru, merupakan strategy untuk membangun kemampuan organisasi melalui pendekatan kemitraan, merger dan akuisisi dan melalui strategy ini diharapkan membawa vkefidupan baru bagi organisasi.
- Change the rules through information technology, pendekatan merubah aturan melalui tehnology informasi. Merupakan usaha memanfaatkan teknologi sebagai dasar untuk mencapai jalan baru dalam menghadapi kompetisi. Melalui teknologi dapat menghubungkan berbagai unit organisasi sehingga dapat mengintegrasikan informasi dan proses pengambilan keputusan. Tehnology dapat meningkatkan efisiensi dan arus informasi dari lingkungan organisasi.
Strategy pembaharuan organisasi meliputi investasi SDM sehingga SDM mempunyai keahlian dan kemampuan baru untuk tercapainya tujuan organisasi. Strategi pembaharuan merupakan kekuatan yang penting dalam dimensi transformasi organisasi. Di dalam strategi system pembaharuan ada 3 komponen yang meliputi :
- Menciptakan struktur reward ( create a reward structure ), strategi ini merupakan unsure memotivasi manusia, reward system sangat penting bagi usaha untuk menciptakan semangat kerja produktivitas dan kinerja organisasi secar keseluruhan , artinya apabila reward system tidak sejalan dengan sasaran organisasi maka system tersebut tidak akan produktif terhadap usaha untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas organisasi.
- Membangun individu yang belajar ( build individual learning ). Suatu organisasi harus mempunyai komitmen untuk mengembangkan individu dalam meningkatkan keahlian, kemampuan dan ketrampilan melalui berbagai proses belajar.
- Pengembangan organisasi ( develop the organization ).
Paradigma penyelenggaraan pemerintahan telah terjadi pergeseran dari paradigma “ rule government “ menjadi “ good governance “. Pemerintah dalam menyelengagarakan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik ( public services )menurut “rule government” senantiasa lebih menyandarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku berbeda dengan paradigma good governance dalam penyelenggaraan pembangunan dan pelayanan publik tidak semata-mata didasarkan pada pemerintah ( government ) atau negara ( state ) saja, tapi harus melibatkan seluruh elemen, baik di dalam intern birokrasi maupun diluar birokrasi publik ( masyarakat ).
Sebagaimana ditegaskan oleh LAN ( 2000 : 1 ) bahwa governance adalah proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public goods and services. Praktek terbaik disebut good governance. Good dalam good governance menurut LAN ( 2000 : 6) mengandung dua pengertian yaitu Pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat yang dalam pencapaian tujuan nasional, kemandirian, dan pembangunan berkelanjutan dan keadilan social. Kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Berdasarkan pengertian ini LAN kemudian mengemukakan bahwa good governance berorientasi pada, yaitu * pertama orientasi ideal negara yang diarahkan pencapai tujuan nasional; Kedua, pemerintahan yang berfungsi ideal yaitu secara efektif, efisien dalam upaya mencapai tujuan nasional. Orientasi pertama menuju demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituennya seperti: Legitimacy ( apakah pemerintahan dipilihdan mendapat kepercayaan rakyatnya ), accountability ( akuntabilitas ), scuring of human right, autonomy and devolution of power, assurance of civilian control. Sedangkan orientasi kedua tergantung pada sejauh mana pemerintah mempunyai kompetensi, dan sejauhmana struktur serta mekanisme politik dan administrative berfunsi secara efektifdanefisien.
Berdasarkan uraian tersebut wujud good governance menurut LAN ( 2000 : 8 ) adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efektif dan efisien dengan menjaga kesinergisan interaksi yang kontruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta, dan masyrakat ( society ). Workshop UNDP menyimpulkan “ that good governance system are participatory, impliying that all members of governance institutions have a voice in influencing decision making “ ( UNDP, 1997 : 19 ). Sistem kepemerintahan yang baik adalah partisipasi yang menyatakan bahwa semua anggota institusi governance memiliki suara dalam mempengaruhi pembuatan keputusan. UNDP dalam paper pertamanya mengidentikkan karakteristik system kepemerintahan yang baik ( the characteristics of good system of governance ) yaitu : “ legitimacy, freedom of associacion and participation and freedom of the media, fair and established legal frameworks that areenforced impartially, bureaucratic accountability and transparency, freely available and valid information, effective and efficien public sector management, and cooperation between governments civil society organizations “ ( 1997 : 19 ).
Namun dalam perkembangan berikutnya. UNDP sebagaimana yang dikutip oleh LAN ( 2000 : 7 ), mengajukan karakteristik good governance sebagai berikut :
- Participation, artinya setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun melalui intermediasi intitusi legitimasi yang mewakili kepentingannya.
- Rule of law, Kerangka hokum yang harus adil dan tanpa pandang bulu terutama hokum untuk HAM
- Transparency, proses transparansi yang dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses-proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung harus dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus bisa dipahami dan dimonitor.
- Responsivness. Lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba untuk melayani setiap “stakeholders “.
- Consensus orientation. Good governance sebagai perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan-pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam kebijakan maupun prosedur.
- Equity. Semua warga negar baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.
- Effectiveness and efficiency. Proses-proses dan lembaga-lembaga sebaik mungkin menghasilkan sesuai dengan apa yang digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia.
- Accountabilty. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sector swasta dan masyarakat bertanggung jawab kepada publik dan lembaga-lembaga “stakeholders”. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
- Strategic Vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh kedepan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan.
Birokrasi pemerintahan yang Responsive, Kompetitif dan Adaptif
Organisasi publik di era sekarang ini harus mampu dan dapat bekerja secara efisien, efektif ,kompetitif responsive dan adaptif. Icklis ( 1981 ) dalam Rondinelly ( 1990 ) menegaskan bahwa dalam organisasi birokrasi pembangunn yang berusaha untuk menjadi kompetitif, responsive dan adaptif tujuan utama harus tertuju pada upaya untuk mendorong semangat kerja sendiri diantara kliennya atau masyrakat yang berhubungan dan Disamping itu organisasi publik harus punya struktur Berdasarkan pendapat Thomas dan Brinkerhoff ( 1977 ) organisasi birokrasi yang responsive adalah adanya delegasi tugas-tugas terstruktur pada unit-unit organisasi yang lebih kecil. Karena dengan delegasi ini memungkinkan otoritas kebijaksanaan,inisiatif dan ide-ide inovatif untuk mengikuti barus dari dalam dan dan keluar maupun dari atas kebawah.
Sementara itu Burn dan Stocker ( 1961 ) menegaskan bahwa organisasi birokrasi yang responsive struktur organisasinya membutuhkan:
1. Memecahkan dan menjabarkan aktivitas organisasi ke sub unit-unit yang berorientasi pada tugas
2. Menyesuaikan dan merumuskan kembali tugas berdasarkan interaksi pad para anggota birokrasi bukan didefinisikan secara kaku oleh pimpinan
3. Mendorong setiap individu menerima tanggung jawab dan komitmen yang lebih luas dan bukan hanya terbatas pada tugas-tugas fungsinalnya saja
4. Menciptakan pengambilan keputusan yang bersifat kolegial dan didasarkan interaksi bukan kontrol otoritas hirarki yang kaku.
5. Menciptakan komunikasi yang bersifat lateral diantara orang-orang dengan jenjang yang berbeda bukan mengandalkan pad intruksi yang vertikal.
6. Mendorong pembuatan keputusan yang didasarkan kepada pertukaran informasi dan nasehat bukan pada proses interuksi komando
7. Menciptakan lingkungan dimana komitmen para staf tertuju pada pencapaian tugas dan pemenuhan tanggung jawabnsecara efektif dan responsive bukan menyatukan loyalitas dan kepatuhan pada pemimipin
8. Menyediakan hadiah bagi prestise yang melekat pada pencapaian dan keahlian anggota staf dalam lingkungan yang lebih luas bukan bukan bagi pencapaian didalam organisasi birokrasi itu sendiri.
9. Meningkatkan partisipasi staf dank lien didalam keputusan tentang perubahan di dalam misi-misi, tujuan dan fungsi organisasi birokrasi
Untuk menuju atau menciptakan birokrasi yang responsif, kompetitif , dan adaptif dalam memberikan pelayanan public maka organisasi birokrasi harus :
1. Strukturnya dan proses birokrasinya harus jelas tegas dan fleksibel
2. Para birokrat harus mengetahui apa yang menjadi tujuan birokrasi
3. Para birokrat punya kejelian dan kemampuan dalam mengenali dan mengidentifikasi masalah dan kebutuhan masyarakat
4. Para birokrat harus membuka kesempatan yang seluas-luasnya pada warga masyarakat untuk berkonsultasi
5. Para birokrat harus mampu berani mengambil keputusan sesuai dengan kompetensi mereka.
6. Para birokrat harus senantiasa mendorong dan mengajak partisipasi aktif warga masyarakat untuk ikut serta dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan secara terpadu.
Disamping itu organisasi birokrasi pemerintahan harus berkualitas. Kualitas birokrasi pemerintahan yang diharapkan menurut Taufik ( 1999: 86-87 ) adalah :
1. Birokrasi pemerintahan yang bersih dan berwibawa baik ditingkat pusat maupun daerah.
2. Profesionalisme Birokrasi yang memadai dan dapat secaracepat dan tepat tanggap terhadap permasalahn yang dihadapi
3. Reformasi birokrasi [emerintahan dapa difokuskan pada kualitas dan kecepatan pelayanan terhadap masyrakat
4. Kerjasama team yang efektif dan efisien antar departemen baik antar sektoral atau yang bukan.
5. Kemampuan manajemen dalam setiap unit birokrasi pemerintahan yang dapat mengatasi masalah pembangunan yang dihadapi
6. Birokrasi yang memihak pada kepentingan rakyat banya sesuai dengan visi dan misi yang telah disetujui bersama.
7. Di bidang hubungan luar negeri kualitas personalia para perwakilan RI di luar negeri terasa perlu di tingkatkan khususnya kemampuan melobi dan sebagainya.
Organisasi birokrasi pemerintahan sebagaimana disebutkan diatas perlu didukung managemen pemerintahan daerah yang kondusif responsive dan adaptif. Beberapa aspek manajemen organisasi yang perlu ditingkatkan dan mendapat perhatian menurut Taufik ( 1999 ; 89 ) adalah sebagai berikut :
1. Prosedur Operasional dan dtandarisasi yang lengkap dan jelas dan tegas sehingga mudah dilaksanakan dan dapat menjadi SOP ( Standard Operasional Procedures ). Dan prosedur ini harus sesederhana dan disesuaikan dengan keadaan lapangan.
2. Pendelegasian kekuasaan serta kordinasi yang jelas, tegas dan mudah dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten didukung system control yang kuat tampa pandang bulu
3. Efektifitas jumlah birokrasi harus dianalisis agar mendapatkan hasil yang optimum. Perampingan birokrasi baik structural maupun fungsional perlu dipelajari sesuai dengan perkembangan kebutuhan . Birokrasi yang bersifat akomodatif bagi penciptaan lapangan kerja sulit dapat ditoleransi. Sebaliknya justru sector swasta dapat dikembangkan untuk menampung tenaga kerja.
4. Pendidikan dan Pelatihan birokrasi yang terus menerus diperlukan untuk meningkatkan wawasan ketrampilan dan manajerial.
5. Pada saat birokrasi pemerintahan menjadi factor penting dalam system ekonomi nasional Indonesia, terutama menyangkut daya saing nasional. Oleh karena itu menyangkut kewirausahaan birokrasi menjadi sangat penting.
Pengembangan dan manajemen organisasi birokrasi pemerintahan sebagaimana disebutkan diatas kiranya disamping akan dapat mencapai apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan otonomi daerah yang luas nyata dan bertanggung dawab juga akan dapat mewujudkan pemerintahan yang baik ( good governance ).
Proses pengembangan organisasi diatas didasarkan pada kriteria yang diserap dari kemampuan organisasi untuk menjadi cerdas ( intelligent organization ) dan bertransformasi menjadi learning organization. Salah satu bentuk konkrit pengembangan organisasi birokrasi adalah tawaran David Osborne dalam “ reinventing Government “. Osborne menawarkan menawarkan wirausaha dalam birokrasi yang harus dijalankan dengan logika wirausaha. Menurut Osborne terdapat sepuluh prinsip dalam penanatan ulang birokrasi :
1. Perlunya pemerintahan yang katalistik yang lebih mengutamakan pemberian pengarahan dari pada pemberian pelayanan. Intinya bahwa jasa pelayanan public sebaiknya diproduksi dan disediakan oleh lembaga non publik, sementara peran pemerintah sebagai perumus kebijaksanaan dan pengrahan.
2. Perlunya pemerintahan yang dimiliki oleh masyarakat, yang mengutamakan pemberdayaan ketimbangmg pemberian pelayanan masyarakat. Intinya bahwa masyarakat harus diberdayakan sehingga dapat memecahakan masalahnya sendiri dan mengurangi sebanyak mungkin ketergantungan masyarkat terhadap pemerintah.
3. Perlunya pemerintahan yang kompetitif dengan menyuntikkan semangat persaingan dalam pemberian pelayanan. Intinya adalah monopoli pemberian pelayanan oleh pemerintah harus diakhiri, harus ada pemberian pelayanan lain non pemerintah ( swasta ). Sehingga dengan demikian pemerintah harus mampu bersaing dengan swasta dan ini akan menciptakan efisiensi produktivitas, kreativitas, inovasi dan mutu pelayanan.
4. Perlunya pemerintah yang didorong oleh misi. Pemerintah dituntut untuk merumuskan misi secara jelas kemudian memberikan kebebasan seluruh aparat menentukan cara masing-masing mencapai misi tersebut.
5. Pemerintah yang berorientasi pada hasil yang mengutamakan penganggaran untuk membiayai hasil dan bukan masukan.
6. Pemerintaha yang berorientasi pada pelanggan yang berusaha memuaskan pelanggan buka aparat birokrasi. Intinya adalah kekuasaan masyrakat penerima jasa pelayanan merupakan tujuan utama dari setiap kegiatan.
7. Pemerintahan wirausaha yang menghasilkan ketimbang membelanjakan. Intinya Pemerintah harus dapat menghasilkan pendapatan bukan semata mata menghabiskan anggaran
8. Pemerintah antisipatif yang mengutamakan pencegahan dari pada pengobatan. Intinya mencegah timbulnya masalah daripada menyelesaikan masalah.
9. Pemerintah desentralisasi meninggalkan hirarki menuju partisipasi dan tim kerja. Kewenangan diberikan pada aparat tingkat bawah yang melakukan pelayanan pada lini terdekat masyarakat. Jenjang organisasi disederhanakan menuju struktur organisasi yang datar ( flat )
10. Pemerintah yang berorientasi pada pasar dimana berbagai perubahan didorong oleh pasar. Intervensi pemerintah dihindarkan sigantikan oleh kekuatan pasar dalam menjalankan fungsi pelayanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar