PARADIGMA PERUBAHAN DOKUMEN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
Oleh : Empi Muslion.JB
===============================
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan landasan
konstitusional penyelenggaraan negara, dalam waktu relatif singkat (1999-2002),
telah mengalami 4 (empat) kali perubahan. Dengan berlakunya amandemen
UUD 1945 tersebut, telah terjadi perubahan dalam pengelolaan
pembangunan, yaitu : (1) penguatan kedudukan lembaga
legislatif dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN); (2) ditiadakannya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai
pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional; dan (3) diperkuatnya otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mengenai dokumen perencanaan pembangunan nasional yang selama ini dilaksanakan
dalam praktek ketatanegaraan adalah dalam bentuk GBHN yang ditetapkan
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI)
Ketetapan MPR ini menjadi landasan hukum bagi Presiden untuk dijabarkan
dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan dengan memperhatikan saran
DPR, sekarang tidak ada lagi.
Instrumen
dokumen perencanaan pembangunan nasional yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia sebagai acuan utama dalam memformat dan menata sebuah bangsa,
mengalami dinamika sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman.
Perubahan mendasar yang terjadi adalah semenjak bergulirnya bola
reformasi, seperti dilakukannya amandemen UUD 1945, demokratisasi yang
melahirkan penguatan desentralisasi dan otonomi daerah (UU Nomor 22/1999
dan UU Nomor 25/1999 yang telah diganti dengan UU Nomor 32/2004 dan UU
Nomor 33/2004), UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor
23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden,
penguatan prinsip-prinsip Good Governance : transparansi,
akuntabilitas, partisipasi, bebas KKN, pelayanan publik yang lebih baik.
Disamping itu dokumen perencanaan pembangunan nasional juga dipengaruhi
oleh desakan gelombang globalisasi (AFTA, WTO, dsb) dan perubahan peta
geopolitik dunia pasca tragedi 11 September 2001.
Perjalanan
dokumen perencanaan pembangunan nasional sebagai kompas pembangunan
sebuah bangsa, perkembangannya secara garis besar dapat dilihat dalam
beberapa periode yakni :
Dokumen perencanaan periode 1958-1967
Pada masa pemerintahan presiden Soekarno (Orde Lama) antara tahun
1959-1967, MPR Sementara (MPRS) menetapkan sedikitnya tiga ketetapan
yang menjadi dasar perencanaan nasional yaitu TAP MPRS No.I/MPRS/1960
tentang Manifesto Politik republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar
Haluan Negara, TAP MPRS No.II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola
Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969, dan Ketetapan MPRS
No.IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar
Haluan Negara dan Haluan Pembangunan.
Dokumen perencanaan periode 1968-1998
Landasan
bagi perencanaan pembangunan nasional periode 1968-1998 adalah
ketetapan MPR dalam bentuk GBHN. GBHN menjadi landasan hukum perencanaan
pembangunan bagi presiden untuk menjabarkannya dalam bentuk Rencana
Pembangunan Lima Tahunan (Repelita), proses penyusunannya sangat
sentralistik dan bersifat Top-Down, adapun lembaga pembuat perencanaan
sangat didominasi oleh pemerintah pusat dan bersifat ekslusif.
Pemerintah Daerah dan masyarakat sebagai subjek utama out-put
perencanaan kurang dilibatkan secara aktif. Perencanaan dibuat secara
seragam, daerah harus mengacu kepada perencanaan yang dibuat oleh
pemerintah pusat walaupun banyak kebijakan tersebut tidak bisa
dilaksanakan di daerah. Akibatnya mematikan inovasi dan kreatifitas
daerah dalam memajukan dan mensejahterakan masyarakatnya. Distribusi
anggaran negara ibarat piramida terbalik, sedangkan komposisi masyarakat
sebagai penikmat anggaran adalah piramida seutuhnya.
Sebenarnya
pola perencanaan melalui pendekatan sentralistik/top-down diawal
membangun sebuah bangsa adalah sesuatu hal yang sangat baik, namun pola
sentralistik tersebut terlambat untuk direposisi walaupun semangat
perubahan dan otonomi daerah telah ada jauh sebelum dinamika reformasi
terjadi.
Dokumen perencanaan periode 1998-2000
Pada
periode ini yang melahirkan perubahan dramatis dan strategis dalam
perjalanan bagsa Indonesia yang disebut dengan momentum reformasi, juga
membawa konsekuensi besar dalam proses penyusunan perencanaan
pembangunan nasional, sehingga di periode ini boleh dikatakan tidak ada
dokumen perencanaan pembangunan nasional yang dapat dijadikan pegangan
dalam pembangunan bangsa, bahkan sewaktu pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid terbersit wacana dan isu menyangkut pembubaran lembaga Perencanaan Pembangunan Nasional, karena diasumsikan lembaga tersebut tidak efisien dan efektif lagi dalam konteks reformasi.
Dokumen perencanaan periode 2000-2004
Pada sidang umum tahun
1999, MPR mengesahkan Ketetapan No.IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis
Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004. Berbeda dengan GBHN-GBHN
sebelumnya, pada GBHN tahun 1999-2004 ini MPR menugaskan Presiden dan
DPR untuk bersama-sama menjabarkannya dalam bentuk Program Pembangunan
Nasional (Propenas) dan Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) yang memuat
APBN, sebagai realisasi ketetapan tersebut, Presiden dan DPR
bersama-sama membentuk Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional 2000-2004. Propenas menjadi acuan bagi penyusunan
rencana pembangunan tahunan (Repeta), yang ditetapkan tiap tahunnya
sebagai bagian Undang-Undang tentang APBN. sedangkan Propeda menjadi acuan bagi penyusunan Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (Repetada).
Dokumen perencanaan terkini menurut UU Nomor 25 tahun 2004 tentang SPPN
Diujung
pemerintahannya Presiden Megawati Soekarno Putri menandatangani suatu
UU yang cukup strategis dalam penataan perjalanan sebuah bangsa untuk
menatap masa depannya yakni UU nomor 25 tentang Sistem Perencanan
Pembangunan Nasional. Dan bagaimanapun UU ini akan menjadi landasan
hukum dan acuan utama bagi pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono untuk memformulasi dan mengaplikasikan sesuai dengan amanat UU
tersebut. UU ini mencakup landasan hukum di bidang perencanaan
pembangunan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dalam
UU ini pada ruang lingkupnya disebutkan bahwa Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan
pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka panjang,
jangka menengah dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara
pemerintahan di pusat dan daerah dengan melibatkan masyarakat.
Intinya
dokumen perencanaan pembangunan nasional yang terdiri dari atas
perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu oleh
kementerian/lembaga dan perencanaan pembangunan oleh pemerintah daerah
sesuai dengan kewenanganya mencakup : (1) Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dengan periode 20 (dua puluh) tahun,
(2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dengan periode 5 (lima)
tahun, dan (3) Rencana Pembangunan Tahunan yang disebut dengan Rencana
Kerja Pemerintah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKP dan RKPD)
untuk periode 1 (satu) tahun.
Lahirnya
UU tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional ini, paling tidak
memperlihatkan kepada kita bahwa dengan UU ini dapat memberikan
kejelasan hukum dan arah tindak dalam proses perumusan perencanaan
pembangunan nasional kedepan, karena sejak bangsa ini merdeka, baru kali
ini UU tentang perencanaan pembangunan nasional ditetapkan lewat UU,
padahal peran dan fungsi lembaga pembuat perencanaan pembangunan selama
ini baik di pusat maupun di daerah sangat besar.
Tapi pertanyaan kita, apakah UU nomor 25 tahun 2004 tentang SPPN ini tidak hanya bertukar kulit saja ? apakah RPJP, RPJM, RKP itu secara model dan mekanisme perumusannya sama
saja halnya dengan program jangka panjang yang terkenal dengan motto
menuju Indonesia tinggal landas, Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita) dengan berbagai periode dan APBN sebagai program satu
tahunnya semasa pemerintahan Orde Baru ?
Apakah aspirasi, partisipasi dan pelibatan masyarakat dalam proses
penjaringan, penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi dari perencanaan yang
dibuat, masih dihadapkan pada balutan sloganistis dan pemenuhan azas
formalitas belaka ? mungkin substansi ini yang perlu kita sikapi bersama
dalam konteks perumusan kebijakan dokumen perencanaan pembangunan
nasional maupun daerah ini kedepan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar