MAHKAMAH
KONSTITUSI
REPUBLIK
INDONESIA
---------
MEMBANGUN BUDAYA SADAR BERKONSTITUSI
UNTUK MEWUJUDKAN NEGARA HUKUM YANG
DEMOKRATIS[1]
Oleh: Jimly Asshiddiqie[2]
Salah satu keberhasilan yang dicapai oleh
bangsa Indonesia pada masa reformasi adalah reformasi konstitusional (constitutional reform). Reformasi konstitusi dipandang merupakan kebutuhan
dan agenda yang harus dilakukan karena UUD 1945 sebelum perubahan dinilai tidak
cukup untuk mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan negara sesuai harapan rakyat,
terbentuknya good governance, serta mendukung penegakan demokrasi dan
hak asasi manusia.
Pada Sidang Umum
MPR 1999, seluruh fraksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD
1945, yaitu:[3]
1. sepakat untuk tidak mengubah
Pembukaan UUD 1945;
2. sepakat untuk mempertahankan
bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian
sekaligus menyempumakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem
presidensiil);
4. sepakat untuk memindahkan
hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD
1945; dan
5. sepakat untuk menempuh cara
adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
Perubahan
UUD 1945 dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu agenda Sidang MPR
dari 1999 hingga 2002[4].
Perubahan pertama dilakukan
dalam Sidang Umum MPR Tahun 1999. Arah perubahan pertama UUD 1945 adalah
membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) sebagai lembaga legislatif.[5]
Perubahan kedua dilakukan
dalam sidang Tahunan MPR Tahun 2000. Perubahan kedua menghasilkan rumusan
perubahan pasal-pasal yang meliputi masalah wilayah negara dan pembagian
pemerintahan daerah, menyempumakan perubahan pertama dalam hal memperkuat
kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan terperinci tentang HAM.[6]
Perubahan ketiga ditetapkan pada
Sidang Tahunan MPR 2001. Perubahan tahap ini mengubah dan atau menambah
ketentuan-ketentuan pasal tentang asas-asas landasan bemegara, kelembagaan
negara dan hubungan antarlembaga negara, serta ketentuan-ketentuan tentang
Pemilihan Umum.[7] Sedangkan perubahan
keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002. Perubahan Keempat
tersebut meliputi ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan
antarlembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), pendidikan dan
kebudayaan, perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta
aturan tambahan.[8]
Empat tahap perubahan UUD 1945
tersebut meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945. Naskah
asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, sedangkan perubahan yang dilakukan
menghasilkan 199 butir ketentuan.[9]
Saat ini, dari 199 butir ketentuan yang ada dalam UUD 1945, hanya 25 (12%)
butir ketentuan yang tidak mengalami perubahan. Selebihnya, sebanyak 174 (88%)
butir ketentuan merupakan materi yang baru atau telah mengalami perubahan.
Dari sisi
kualitatif, perubahan UUD 1945 bersifat sangat mendasar karena mengubah prinsip
kedaulatan rakyat yang semula dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR menjadi
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal itu menyebabkan semua lembaga
negara dalam UUD 1945 berkedudukan sederajat dan melaksanakan kedaulatan rakyat
dalam lingkup wewenangnya masing-masing. Perubahan lain adalah dari kekuasaan Presiden yang sangat besar (concentration of power and responsibility
upon the President) menjadi prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances). Prinsip-prinsip
tersebut menegaskan cita negara yang hendak dibangun, yaitu negara hukum yang
demokratis.
Setelah berhasil melakukan
perubahan konstitusional, tahapan selanjutnya yang harus dilakukan adalah
pelaksanaan UUD 1945 yang telah diubah tersebut. Pelaksanaan UUD 1945 harus
dilakukan mulai dari konsolidasi norma hukum hingga dalam praktik kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sebagai hukum dasar, UUD 1945 harus menjadi acuan
dasar sehingga benar-benar hidup dan berkembang dalam penyelenggaraan negara
dan kehidupan warga negara (the living
constitution).
B.
NEGARA
HUKUM YANG DEMOKRATIS
Salah satu prinsip dasar yang mendapatkan penegasan dalam
perubahan UUD 1945 adalah prinsip negara hukum, sebagaimana tertuang dalam Pasal
1 Ayat (3) UUD 1945[10]
yang menyatakan bahwa ‘Negara Indonesia adalah negara hukum’. Bahkan secara
historis negara hukum (Rechtsstaat) adalah negara yang diidealkan oleh
para pendiri bangsa sebagaimana dituangkan dalam penjelasan umum UUD 1945
sebelum perubahan tentang sistem pemerintahan negara yang menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat),
tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat)[11].
Ide negara hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh
para filsuf dari zaman Yunani Kuno. Plato, dalam bukunya “the Statesman”
dan “the Law” menyatakan bahwa negara
hukum merupakan bentuk paling baik kedua (the second best) guna mencegah
kemerosotan kekuasaan. Konsep negara hukum modern di Eropa Kontinental
dikembangkan dengan menggunakan istilah Jerman yaitu “rechtsstaat”
antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan
lain-lain. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika konsep negara hukum dikembangkan
dengan sebutan “The Rule of Law” yang dipelopori oleh A.V. Dicey. Selain
itu, konsep negara hukum juga terkait dengan istilah nomokrasi (nomocratie) yang
berarti bahwa penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan negara adalah hukum. [12]
Prinsip-prinsip negara hukum senantiasa berkembang sesuai
dengan perkembangan masyarakat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
semakin kompleksnya kehidupan masyarakat di era global, menuntut pengembangan
prinsip-prinsip negara hukum. Dua isu pokok yang senantiasa menjadi inspirasi
perkembangan prinsip-prinsip negara hukum adalah masalah pembatasan kekuasaan
dan perlindungan HAM. Saat ini, paling tidak dapat dikatakan terdapat dua belas
prinsip negara hukum, yaitu Supremasi Konstitusi (supremacy of law), Persamaan dalam Hukum (equality before the law), Asas Legalitas (due process of law), Pembatasan Kekuasaan (limitation of power), Organ Pemerintahan yang Independen,
Peradilan yang Bebas dan Tidak Memihak (independent and impartial judiciary),
Peradilan Tata Usaha Negara (administrative
court), Peradilan Tata Negara (constitutional
court), Perlindungan Hak Asasi Manusia, Bersifat Demokratis (democratische-rehtsstaats), Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan
Bernegara (Welfare Rechtsstaat), serta Transparansi dan Kontrol Sosial.[13]
Dalam suatu negara hukum,
mengharuskan adanya pengakuan normatif dan empirik
terhadap prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan
hukum sebagai pedoman tertinggi. Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum terwujud
dalam pembentukan norma hukum secara hirarkis yang berpuncak pada supremasi
konstitusi. Sedangkan secara empiris terwujud dalam perilaku pemerintahan dan
masyarakat yang mendasarkan diri pada aturan hukum.
Dengan demikian, segala tindakan pemerintahan harus
didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan
perundang-undangan tersebut harus ada dan berlaku terlebih dulu atau mendahului
perbuatan yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan administratif harus
didasarkan atas aturan atau rules and procedures.
Namun demikian, prinsip supremasi hukum selalu diiringi
dengan dianut dan dipraktikkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang
menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan,
sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan
mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara
sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hukum tidak dimaksudkan
untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan
menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum
yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan democratische
rechtsstaat.
Berdasarkan prinsip negara hukum, sesungguhnya yang
memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan
hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti
bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi.
Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum,
sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud
perjanjian sosial tertinggi.
Oleh karena itu, aturan-aturan dasar konstitusional harus
menjadi dasar dan dilaksanakan melalui peraturan perundang-undangan yang
mengatur penyelenggaraan negara dan kehidupan masyarakat. Dengan demikian,
perubahan UUD 1945 yang bersifat mendasar tentu saja berpengaruh terhadap
sistem dan materi peraturan perundang-undangan yang telah ada. Perubahan UUD
1945 membawa implikasi terhadap jenis peraturan perundangan-undangan serta
materi muatannya. Adanya perubahan UUD 1945 tentu menghendaki adanya perubahan
sistem peraturan perundang-undangan, serta penyesuaian materi muatan berbagai
peraturan perundang-undangan yang telah ada dan berlaku.
C. UUD 1945 SEBAGAI KONSTITUSI POLITIK, EKONOMI, DAN SOSIAL
Sebagai wujud perjanjian sosial tertinggi[14],
konstitusi memuat cita-cita yang akan dicapai dengan pembentukan negara dan
prinsip-prinsip dasar pencapaian cita-cita tersebut. UUD 1945 sebagai
konstitusi bangsa Indonesia merupakan dokumen hukum dan dokumen politik yang
memuat cita-cita, dasar-dasar, dan prinsip-prinsip penyelenggaraan kehidupan
nasional.[15] Pasal II
Aturan Tambahan UUD 1945 menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal[16].
Pembukaan dan pasal-pasal adalah satu kesatuan norma-norma konstitusi yang supreme
dalam tata hukum nasional (national legal order).
Cita-cita pembentukan negara kita kenal dengan istilah
tujuan nasional yang tertuang dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu
(a) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (b)
memajukan kesejahteraan umum; (c) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (d) ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial. Cita-cita tersebut akan dilaksanakan dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berdiri di atas lima dasar yaitu Pancasila
sebagaimana juga dicantumkan dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945.
Untuk mencapai cita-cita tersebut dan melaksanakan
penyelenggaraan negara berdasarkan Pancasila, UUD 1945 telah memberikan
kerangka susunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Norma-norma dalam UUD 1945
tidak hanya mengatur kehidupan politik tetapi juga kehidupan ekonomi dan
sosial. Hal ini karena para pendiri bangsa menghendaki bahwa rakyat Indonesia
berdaulat secara penuh, bukan hanya kedaulatan politik. Maka UUD 1945 merupakan
konstitusi politik, konstitusi ekonomi, dan konstitusi sosial yang harus
menjadi acuan dan landasan secara politik, ekonomi, dan sosial, baik oleh
negara (state), masyarakat (civil society), ataupun pasar (market).
Sebagai konstitusi politik, UUD 1945 mengatur masalah
susunan kenegaraan, hubungan antara lembaga-lembaga negara, dan hubungannya
dengan warga negara. Hal ini misalnya diatur dalam Bab I tentang Bentuk
Kedaulatan, Bab II tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang
Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab V tentang Kementerian Negara, Bab VI tentang Pemerintah Daerah, Bab VII tentang
Dewan Perwakilan Rakyat, Bab VIIA tentang Dewan Perwakilan Daerah, Bab VIIB
tentang Pemilu, Bab VIII tentang Hal Keuangan, Bab VIIIA tentang Badan
Pemeriksa Keuangan, Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman, Bab IX tentang Wilayah
Negara, Bab X tentang Warga Negara Dan Penduduk khususnya Pasal 26, Bab XA
tentang Hak Asasi Manusia khususnya Pasal 28I ayat (5), Bab XII tentang
Pertahanan Dan Keamanan Negara, Bab XV tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang
Negara, Serta Lagu Kebangsaan, Bab XVI tentang Perubahan Undang-Undang Dasar,
Aturan Peralihan, dan Aturan Tambahan.
Sebagai konstitusi ekonomi, UUD 1945 juga mengatur
bagaimana sistem perekonomian nasional seharusnya disusun dan dikembangkan.
Ketentuan utama UUD 1945 tentang sistem perekonomian nasional dimuat dalam Bab
XIV Pasal 33. Ketentuan tentang sistem perekonomian nasional memang hanya dalam
satu pasal yang terdiri dari lima ayat. Namun ketentuan ini harus dielaborasi
secara konsisten dengan cita-cita dan dasar negara berdasarkan konsep-konsep
dasar yang dikehendaki oleh pendiri bangsa. Selain itu, sistem perekonomian
nasional juga harus dikembangkan terkait dengan hak-hak asasi manusia yang juga
mencakup hak-hak ekonomi, serta dengan ketentuan kesejahteraan rakyat.
Sebagai konstitusi sosial, UUD 1945 mengatur tata kehidupan
bermasyarakat terutama dalam Bab X tentang Warga Negara Dan Penduduk khususnya
Pasal 27 dan Pasal 28, Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, Bab XIII tentang
Pendidikan Dan Kebudayaan, dan Bab XIV tentang Perekonomian Nasional Dan
Kesejahteraan Rakyat khususnya Pasal 34.
Ketentuan-ketentuan tersebut selalu harus dielaborasi
secara konsisten guna mencapai tujuan nasional serta untuk dapat mengantisipasi
dan memberikan solusi terhadap permasalahan perkembangan jaman sesuai dengan
prinsip negara hukum yang demokratis. Demokrasi yang dikembangkan adalah demokrasi
politik, demokrasi ekonomi, dan demokrasi sosial.
D. KONSTITUSI DAN SISTEM HUKUM NASIONAL
Negara hukum (Rechtsstaat atau The Rule of Law)
adalah konsep negara yang diidealkan oleh para pendiri bangsa yang membahas dan
merumuskan UUD 1945, sebagaimana kemudian dituangkan dalam penjelasan UUD 1945
sebelum perubahan. Penegasan sebagai negara hukum dikuatkan dalam UUD 1945
setelah perubahan pada Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah
Negara Hukum”.[17]
Sebagai sebuah negara hukum, maka hukum harus dipahami dan
dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem. Sebagai sebuah sistem, hukum terdiri
dari elemen-elemen (1) kelembagaan (institutional), (2) kaedah aturan (instrumental),
(3) perilaku para subyek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang
ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subyektif dan kultural). Ketiga elemen
sistem hukum tersebut mencakup (a) kegiatan pembuatan hukum (law making),
(b) kegiatan pelaksanaan hukum atau penerapan hukum (law administrating),
dan (c) kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum (law adjudicating)
atau yang biasa disebut dengan penegakkan hukum dalam arti sempit (law
enforcement).
Selain kegiatan-kegiatan tersebut di atas, terdapat
beberapa kegiatan lain yang sering dilupakan, yaitu (d) pemasyarakatan dan
pendidikan hukum (law socialization and law education) secara luas dan
juga meliputi (e) pengelolaan informasi hukum (law information management).
Kedua kegiatan tersebut merupakan kegiatan penunjang yang semakin penting
kontribusinya dalam sistem hukum nasional.
Kelima kegiatan dalam sistem hukum tersebut biasanya dibagi
ke dalam tiga wilayah fungsi kekuasaan negara, yaitu (i) fungsi legislasi dan
regulasi, (ii) fungsi eksekutif dan administratif, serta (iii) fungsi judikatif
atau judisial.[18] Organ
legislatif adalah lembaga parlemen, organ eksekutif adalah birokrasi
pemerintahan, sedangkan organ judikatif adalah birokrasi aparatur penegakan
hukum yang mencakup kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Semua organ harus
dihubungkan dengan hirarkinya masing-masing mulai dari yang tertinggi hingga
terendah, yaitu terkait dengan aparatur tingkat pusat, tingkat provinsi, dan
tingkat kabupaten/kota.
Keseluruhan elemen, komponen, hirarki dan aspek-aspek yang
bersifat sistemik dan saling berkaitan satu sama lain itulah tercakup
pengertian sistem hukum yang harus dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum
Indonesia berdasarkan UUD 1945. Jika dinamika yang berkenaan dengan keseluruhan
aspek, elemen, hirarki dan komponen tersebut tidak bekerja secara seimbang dan
sinergis, maka hukum sebagai satu kesatuan sistem tidak dapat diharapkan
terwujud sebagaimana mestinya.
Saat ini masih terdapat kecenderungan memahami hukum dan
pembangunan hukum secara parsial pada elemen tertentu dan bersifat sektoral.
Maka saya sering mengemukakan pentingnya menyusun dan merumuskan konsepsi
Negara Hukum Indonesia sebagai satu kesatuan sistem. Semua lembaga atau
institusi hukum yang ada hendaklah dilihat sebagai bagian dari keseluruhan
sistem hukum yang perlu dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum tersebut.
Untuk itu, bangsa Indonesia perlu menyusun suatu blue print sebagai
desain makro tentang Negara Hukum dan Sistem Hukum Nasional yang hendak kita
bangun dan tegakkan.
Salah satu elemen dalam sistem hukum nasional adalah kaedah
aturan. Kaedah-kaedah peraturan tersebut berupa peraturan perundang-undangan
yang hanya dapat dikatakan sebagai suatu tata hukum dalam sebuah sistem hukum
nasional jika validitasnya dapat dilacak baik secara langsung maupun tidak
langsung kepada kepada konstitusi.[19]
Tata hukum, sebagai personifikasi negara, merupakan suatu
hirarki peraturan perundang-undangan yang memiliki level berbeda. Kesatuan
peraturan perundang-undangan ini disusun oleh fakta bahwa pembuatan peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan lain yang lebih tinggi.[20]
Peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagai suatu tata hukum nasional
juga disusun secara hierarkis. Hubungan hierarkis tersebut terjalin secara utuh
dan berpuncak pada konstitusi yang dalam negara hukum dikenal sebagai prinsip
supremasi konstitusi.
E. IMPLIKASI PERUBAHAN UUD 1945 TERHADAP PEMBANGUNAN SISTEM HUKUM NASIONAL
Sebagai konsekuensi dari supremasi konstitusi dan hierarki
perundang-undangan dalam suatu sistem hukum, maka perubahan konstitusi
mengharuskan adanya perubahan terhadap perundang-undangan dalam sistem hukum
tersebut, serta pelaksanaannya oleh pihak yang berwenang.[21] Demikian pula halnya dengan perubahan UUD 1945 yang cukup mendasar dan
meliputi hampir keseluruhan ketentuan yang terdapat di dalamnya, harus diikuti
dengan perubahan perundang-undangan yang berada di bawahnya dan pelaksanaannya
oleh organ yang berwenang. Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang telah
ada yang bersumber pada ketentuan tertentu dalam UUD 1945 sebelum perubahan
harus dilihat kembali kesesuaiannya dengan ketentuan hasil perubahan UUD 1945.
Segera setelah agenda constitutional
reform (pembaruan konstitusi) berhasil dilakukan, kita perlu melanjutkan
dengan agenda legal reform (pembentukan dan pembaruan hukum). Jika
kita mencermati ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 setelah empat kali dirubah,
terdapat 22 butir ketentuan yang menyatakan “diatur dengan undang-undang” atau
“diatur lebih lanjut dengan undang-undang”, 11 butir ketentuan yang menyatakan
“diatur dalam undang-undang” atau “diatur lebih lanjut dalam undang-undang”,
dan 6 butir ketentuan menyatakan “ditetapkan dengan undang-undang.
Ketentuan-ketentuan tersebut jelas mengamanatkan perlunya dilakukan pembaruan
hukum sebagai bentuk pelaksanaan UUD 1945.
Bidang-bidang hukum yang
memerlukan pembentukan dan pembaruan tersebut dapat dikelompokkan menurut
bidang-bidang yang dibutuhkan, misalnya:
1. Bidang politik dan pemerintahan.
2. Bidang ekonomi dan dunia usaha.
3. Bidang kesejahteraan sosial dan budaya.
4. Bidang penataan sistem dan aparatur hukum.
Sebagai suatu kesatuan sistem hukum, upaya perubahan
perundang-undangan untuk menyesuaikan dengan perubahan UUD 1945 adalah bagian
yang tidak terpisahkan dari pembangunan hukum nasional secara keseluruhan.
Karena itu, perubahan berbagai perundang-undangan sebaiknya dilakukan secara
terencana dan partisipatif dalam program legislasi nasional sekaligus bentuk legislatif
review. Program legislasi nasional harus disusun pertama dan utamanya
adalah untuk melaksanakan ketentuan dalam UUD 1945. Berdasarkan ketentuan UUD
1945 dapat dielaborasi perundang-undangan yang harus dibuat dalam program
legislasi nasional baik di bidang politik, ekonomi, maupun sosial.
Disamping itu masyarakat juga dapat mengajukan permohonan constitutional
review kepada Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang yang dianggap merugikan
hak konstitusionalnya dalam UUD 1945 yang telah diubah.[22]
Masyarakat juga dapat mengajukan judicial review kepada Mahkamah Agung
terhadap peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang dianggap
bertentangan dengan Undang-Undang.
Putusan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang telah dibuat oleh Mahkamah Konstitusi
terhadap berbagai permohonan pengujian yang diajukan juga harus diperhatikan
dalam upaya pembangunan hukum nasional khususnya perubahan perundang-undangan.[23]
Dalam putusan-putusan tersebut memuat pengertian-pengertian dan konsep-konsep
terkait dengan pengertian dan pemahaman suatu ketentuan dalam konstitusi.
Hingga saat ini telah terdapat berbagai putusan Mahkamah Konstitusi baik di
bidang politik[24], ekonomi[25],
dan sosial[26] terkait dengan
ketentuan dalam UUD 1945.
Perubahan UUD 1945 dan perubahan perundang-undangan di
bawahnya juga harus diikuti dengan perubahan kelembagaan sesuai paradigma dan
ketentuan yang baru, serta perubahan kesadaran dan budaya pelaksana hukum dan
perundang-undangan. Hal ini menjadi sangat penting karena perundang-undangan
yang lama telah membentuk kultur lembaga, kultur hukum dan birokrasi yang tidak
mudah dihilangkan dan diganti. Karena itu perlu penyegaran dan penumbuhan
kembali kesadaran berkonstitusi dan budaya hukum berdasarkan hasil perubahan
UUD 1945.
Telah ada beberapa forum yang dibuat untuk dapat merumuskan
program pembangunan hukum nasional seperti Seminar Hukum Nasional, Law Summit,
dan forum seminar lainnya. Semakin banyak dilakukan forum yang mengkaji
pembangunan hukum nasional, tentu semakin banyak permasalahan yang terungkap
dan perencanaan yang dibuat. Namun hasil dari berbagai forum tersebut tentu
harus disinkronisasikan dan dipadukan sebagai suatu blue print pembangunan
hukum nasional yang menjadi pedoman dan benar-benar dilaksanakan oleh semua
pihak.
F. Budaya Sadar Berkonstitusi
Kita tentunya menghendaki agar UUD 1945 merupakan
konstitusi yang benar-benar dilaksanakan dalam praktik kehidupan berbangsa dan
bernegara demi tercapainya cita-cita bersama. Kontitusi mengikat segenap
lembaga negara dan seluruh warga negara. Oleh karena itu, yang menjadi
pelaksana konstitusi adalah semua lembaga negara dan segenap warga negara
sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing sebagaimana diatur dalam UUD
1945. Dalam perspektif hukum, kata
“pelaksanaan” (implementation) terdiri dari dua konsep fungsional,
yaitu; pertama, identifying constitutional norms and
specifying their meaning; dan kedua, crafting doctrine or
developing standards of review.[27]
Agar setiap lembaga dan segenap warga negara dapat
melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan UUD 1945, diperlukan
adanya budaya sadar berkonstitusi. Untuk menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi
diperlukan pemahaman terhadap nilai-nilai dan norma-norma dasar yang menjadi
materi muatan konstitusi. Pemahaman tersebut menjadi dasar bagi masyarakat
untuk dapat selalu menjadikan konstitusi sebagai rujukan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Jika masyarakat telah memahami norma-norma dasar dalam
konstitusi dan menerapkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka
pasti mengetahui dan dapat mempertahankan hak-hak konstitusionalnya yang
dijamin dalam UUD 1945. Selain itu, masyarakat dapat berpartisipasi secara
penuh terhadap pelaksanaan UUD 1945 baik melalui pelaksanaan hak dan
kewajibannya sebagai warga negara, berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara
dan pemerintahan, serta dapat pula melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan
negara dan jalannya pemerintahan. Kondisi tersebut dengan sendirinya akan
mencegah terjadinya penyimpangan ataupun penyalahgunaan konstitusi.
Salah satu bentuk nyata pentingnya budaya sadar
berkonstitusi bagi pelaksanaan konstitusi adalah terkait dengan kewenangan
Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Pengujian tersebut dilakukan untuk menentukan apakah suatu ketentuan dalam
suatu undang-undang, bertentangan atau tidak dengan UUD 1945. Namun Mahkamah
Konstitusi dalam hal ini tidak dapat bertindak secara aktif. Mahkamah
Konstitusi hanya dapat menjalankan wewenang tersebut jika ada permohonan
pengujian suatu undang-undang yang diajukan oleh masyarakat.
Dalam pengajuan permohonan inilah diperlukan adanya budaya
sadar berkonstitusi berupa kesadaran akan hak konstitusionalnya sebagai warga negara baik sebagai perorangan maupun
kelompok bahwa hak-hak konstitusional telah dilanggar oleh suatu ketentuan
undang-undang. Di sisi lain, juga diperlukan adanya kesadaran untuk mendapatkan
perlindungan atas hak konstitusional yang dilanggar dengan cara mengajukan
permohonan pengujian konstitusional atas ketentuan undang-undang yang
merugikannya. Jika tidak ada budaya sadar berkonstitusi, masyarakat tidak akan
mengetahui apakah haknya terlanggar atau tidak dan tidak melakukan upaya konstitusional
untuk mendapatkan perlindungan. Akibatnya, UUD 1945 akan banyak dilanggar oleh
ketentuan undang-undang sehingga pada akhirnya konstitusi hanya akan menjadi
dokumen di atas kertas tanpa
dilaksanakan dalam praktik.
Oleh karena itulah harus ada
upaya secara terus-menerus untuk membangun budaya sadar berkonstitusi. Budaya sadar berkonstitusi tercipta tidak hanya sekedar mengetahui
norma dasar dalam konstitusi. Lebih dari itu, juga dibutuhkan pengalaman nyata
untuk melihat dan menerapkan konstitusi dalam praktik kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, menumbuhkan budaya sadar
berkonstitusi adalah suatu proses panjang dan berkelanjutan.
Salah satu masalah yang
dihadapi dalam upaya mendekatkan UUD 1945 sebagai konstitusi kita kepada
masyarakat umum serta menumbuhkan the
living contitution adalah karena pembahasan masalah konstitusi dan materi
muatan yang terkandung didalamnya selalu menggunakan kerangka pikir, rujukan
teori, dan rujukan praktik yang berasal dari luar negeri. Bahkan saat ini kita
belum memiliki pakar Hukum Tata Negara ataupun politik yang menguasai Hukum
Tata Negara Adat.
Untuk itu, diperlukan upaya
domestikasi UUD 1945, yaitu menjadikan UUD 1945 dan pengkajiannya dilakukan
dengan merujuk pada pengalaman bangsa Indonesia dan problem nyata yang dihadapi
oleh masyarakat. Pengkajian sejarah ketatanegaraan bangsa Indonesia selama ini
masih terbatas mulai penjajahan Belanda. Padahal, sebelumnya terdapat
kerajaan-kerajaan di wilayah nusantara yang memiliki sistem dan struktur
ketatanegaraan tersendiri yang dapat dibandingkan dengan sistem ketatanegaraan
modern. Sebagai contoh, pembagian fungsi kekuasaan antara legislatif,
eksekutif, dan yudikatif sudah terbentuk walaupun kekuasaan Raja cukup dominan
karena menjadi ketua dari semua lembaga yang menjalankan fungsi-fungsi
kekuasaan tersebut. Bahkan prinsip demokrasi juga mulai terlihat karena
pengambilan keputusan diambil secara musyawarah oleh wakil-wakil masyarakat,
meskipun keputusan terakhir tetap ada pada pimpinan tertinggi.
Kenyataan-kenyataan sejarah tersebut dapat dijumpai di kerajaan dan satuan
pemerintahan lain di berbagai wilayah nusantara.
Dengan elaborasi pengalaman bangsa
Indonesia sendiri dan dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi dalam UUD
1945, maka masyarakat akan merasakan bahwa sistem dan pemikiran yang menjadi
materi muatan UUD 1945 bukan lagi sebagai hal yang asing, tetapi tumbuh dan
berkembang seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Indonesia.
Jika hal ini diiringi dengan upaya mendekatkan UUD 1945 dengan masyarakat,
misalnya melalui penulisannya dalam bahasa dan huruf daerah, masyarakat dapat
menjadikan UUD 1945 benar-benar sebagai landasan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Masyarakat akan dapat mensikapi masalah yang dihadapi
berdasarkan norma-norma konstitusional. Hal ini menjadi awal dari berkembangnya
kehidupan dan pemikiran konstitusional sesuai dengan kondisi dan perkembangan
masyarakat (the living constitution).
DAFTAR
PUSTAKA
Alrasid,
Harun. Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah Oleh MPR. Revisi
Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2003.
Asshiddiqie,
Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi Dan Pelaksanaannya Di
Indonesia. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1994.
---------------------------.
Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945.
Makalah Disampaikan dalam Simposium yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, 2003.
---------------------------. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi
Press, 2005.
---------------------------. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta; Konstitusi
Press, 2005.
Barendt,
Eric. An Introduction to Constitutional Law. New York: Oxford University
Press, 1998.
Fallon, Richard H. Jr.. Implementing the Constitution. Cambridge, Massachusetts, and London: Harvard
University Press, 2001.
Field, G. Lowell. Government In Modern Society.
New York – Toronto – London: McGraw-Hill Book Company, Inc., 1951.
Jelić,
Zoran. A Note On Adolf Merkl’s Theory Of Administrative Law. Journal Facta
Universitatis, Law and Politics. Vol. 1
No. 2, 1998.
Kelsen,
Hans. General Theory of Law and State. translated by: Anders Wedberg.
New York; Russell & Russell, 1961.
Mahfud
MD., Moh. Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Edisi Revisi.
Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
Montesquieu.
The Spirit of the laws.
Translated by Thomas Nugent. London: G. Bell & Sons, Ltd, 1914.
Phillips,
O. Hood and Paul Jackson. Constitutional And
Administrative Law. Eighth Edition. London: Sweet & Maxwell,
2001.
Simanjuntak,
Marsillam. Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur, dan Riwayatnya
dalam Persiapan UUD 1945. Jakarta: Pustaka Grafiti, 1993.
Stewart,
Ian. The Critical Legal Science of Hans Kelsen. Journal of Law and Society,
17 (3), 1990.
Thompson,
Brian. Textbook on Constitutional Law & Administrative Law. Third
Edition. London: Blackstone Press Limited, 1997.
Tim
Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani, Pokok-pokok Usulan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dan Pemilihan
Presiden Secara Langsung, dipresentasikan di hadapan Pimpinan dan
Anggota Dewan Pertimbangan Agung RI pada tanggal 15 Juni 1999 di Jakarta.
Yamin,
Muhammad. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jilid Pertama. Jakarta:
Yayasan Prapanca, 1959.
[1] Bahan Orasi Ilmiah Peringatan Dies Natalis ke XXI dan
Wisuda 2007 Universitas Darul Ulum (Unisda) Lamongan. 29 Desember 2007.
[3] Lima kesepakatan tersebut dilampirkan dalam Ketetapan
MPR No. IX/MPR/1999 tentang Penugasan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia untuk Melanjutkan Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[4] Sidang Tahunan MPR baru dikenal pada masa
reformasi berdasarkan Pasal 49 dan Pasal 50 Ketetapan MPR No. II/MPR/1999
tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia.
[5] Ditetapkan pada 19 Oktober 1999.
[6] Ditetapkan pada 18 Agustus 2000.
[7] Ditetapkan pada 9 November 2001.
[8] Ditetapkan pada 10 Agustus 2002.
[9] Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan
Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah Disampaikan
dalam Simposium yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen
Kehakiman dan HAM, 2003, hal. 1.
[10] Hasil perubahan ketiga UUD 1945.
[11] Penjelasan UUD 1945 dalam proses perubahan UUD
1945 dihilangkan dengan memasukkan ke dalam materi batang tubuh.
[12] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi &
Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005),
hal. 152.
[13] Asshiddiqie, Op Cit., hal. 154-162.
[14] Otoritas konstitusi berasal dari kekuasaan
konstituen, yaitu otoritas yang berada di luar dan atas sistem yang dibentuk.
Dalam negara demokratis, pemegang kekuasaan konstituen adalah rakyat. Brian
Thompson, Textbook on Constitutional Law & Administrative Law, Third
Edition, (London: Blackstone Press Limited, 1997), hal. 5.
[15] Eric Barendt, An Introduction to
Constitutional Law, (New York: Oxford University Press, 1998), hal. 2-7.
[16] Hasil perubahan keempat UUD 1945. Sebelum
dilakukan perubahan, diterima oleh umum bahwa UUD 1945 terdiri dari pembukaan,
batang tubuh, dan penjelasan.
[17] Pasal 1 ayat (3) ini merupakan hasil Perubahan
Keempat UUD 1945.
[18] Montesquieu, The Spirit of the laws, Translated by Thomas Nugent, (London: G. Bell
& Sons, Ltd, 1914), Part XI, Chapter 67.
[19] Hans Kelsen, General Theory of Law and
State, translated by: Anders Wedberg, (New York; Russell & Russell,
1961), hal. 115 dan 123-124.
[20] Ibid., hal 124. Beberapa penulis
menyatakan bahwa teori hirarki norma ini dipengaruhi oleh teori Adolf Merkl, atau paling tidak Merkl telah menulis
teori terlebih dahulu dibanding Hans Kelsen, yang disebu Jelić dengan “stairwell
structure of legal order”. Teori Merkl ini adalah tentang tahapan hukum (die
Lehre vom Stufenbau der Rechtsordnung) yaitu bahwa hukum adalah suatu
sistem tata aturan hirarkis, suatu sistem norma yang mengkondisikan dan
dikondisikan dan tindakan hukum. Norma yang mengkondisikan berisi kondisi untuk
pembuatan norma lain atau tindakan. Pembuatan hirarkis ini termanifestasi dalam
bentuk regresi dari sistem tata hukum yang lebih tinggi ke sistem tata hukum
yang lebih rendah. Proses ini selalu merupakan proses konkretisasi dan
individualisasi. Lihat Zoran Jelić, A Note On Adolf Merkl’s Theory Of
Administrative Law, Journal Facta Universitatis, Series: Law and Politics.
Vol. 1 No. 2, 1998, hal. 149. Bandingkan
dengan Ian Stewart, The Critical Legal Science of Hans Kelsen, Journal of
Law and Society, 17 (3), 1990, hal. 283.
[21] Hukum dapat dikategorikan menjadi empat
kelompok pengertian hukum dilihat dari wilayah pembuatan dan pembentukan hukum, yaitu Hukum Negara (The
State’s Law), Hukum Adat (The People’s Law), Doktrin (The
Professor’s Law), dan hukum praktek (The Professional’s Law). Lihat
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,
(Jakarta; Konstitusi Press, 2005), hal. 4.
[22] Berdasarkan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, kewenangan constitutional review
Mahkamah Konstitusi dibatasi hanya untuk Undang-Undang yang ditetapkan sesudah
perubahan pertama UUD 1945. Namun dalam putusan perkara No. 04/PUU-I/2003 Pasal
50 Undang-Undang Tahun 2003 dikesampingkan oleh Mahkamah Konstitusi karena
mereduksi kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan UUD 1945.
[23] Proses judicial review secara luas yang
meliputi juga constitutional review telah menjadi sarana menegakkan
supremasi konstitusi di negara-negara demokrasi modern. O. Hood Phillips and
Paul Jackson, Constitutional And
Administrative Law, Eighth Edition, (London: Sweet & Maxwell,
2001), hal. 7-8.
[24] Misalnya Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara
Nomor 011-017/PUU-I/2003 yang mengembalikan hak politik pasif dan aktif eks
anggota PKI dan organisasi terlarang lainnya dengan menyatakan bahwa Pasal 60
huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4277)
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
[25] Misalnya Putusan Mahkamah Konstitusi No.
Perkara 002/PUU-I/2003 dalam perkara permohonan konstitusionalitas
Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dan Putusan
Mahkamah Konstitusi No. Perkara 001-021-022/PUU-I/2003 yang menyatakan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 secara keseluruhan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat karena Pasal-Pasal yang diuji dan dinyatakan bertentangan dengan
UUD 1945, yaitu Pasal 16, Pasal 17 ayat (3), dan Pasal 68 merupakan jantung
dari Undang-Undang No. 20 Tahun 2002.
[26] Misalnya Putusan No. Perkara 011/PUU-III/2005
dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
[27] Richard H.
Fallon, Jr., Implementing the
Constitution, (Cambridge,
Massachusetts, and London; Harvard University Press,
2001), hal. 37 – 38.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar