Selasa, 08 Mei 2012


ETIKA BIROKRASI

  1. PENDAHULUAN.
Berbicara tentang Etika Birokrasi dewasa ini menjadi topik yang sangat menarik dibahas, terutama dalam mewujudkan aparatur yang bersih dan berwibawa. Kecenderungan atau gejala yang timbul dewasa ini banyak aparat birokrasi dalam pelaksanaan tugasnya sering melanggar aturan main yang telah ditetapkan. Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan sangat terkait dengan moralitas dan mentalitas aparat birokrasi dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan itu sendiri yang tercermin lewat fungsi pokok pemerintahan , yaitu fungsi pelayanan, fungsi pengaturan atau regulasi dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Jadi berbicara tentang Etika Birokrasi berarti kita berbicara tentang bagaimana aparat Birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi tugasnya sesuai dengan ketentuan aturan yang seharusnya dan semestinya, yang pantas untuk dilakukan dan yang sewajarnya dimana telah ditentukan atau diatur untuk ditaati dilaksanakan.
Menjadi permasalahan sekarang ini bagaimana proses penentuan Etika dalam Birokrasi itu sendiri, siapa yang akan mengukur seberapa jauh etis atau tidak, bagaimana dengan kondisi saat itu dan tempat daerah tertentu yang mengatakan bahwa itu etis saja di daerah kami atau dapat dibenarkan, namun ditempat lain belum tentu. Dapat dikatakan bahwa Etika Birokrasi sangat terpergantung dari seberapa jauh melanggar di tempat atau daerah mana, kapan dilakukannya dan pada saat yang bagaimana, serta sangsi apa yang akan diterapkan sangsi social moral ataukah sangsi hukum, semua ini sangat temporer dan bervariasi di negara kita sebab terkait juga dengan aturan, norma, adat dan kebiasaan setempat.
Dalam penulisan ini kami akan mencoba membahas tentang apa yang dimaksudkan dengan Etika, mengapa kita memerlukan Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dari mana Etika Birokrasi dibentuk dan sejauhmana peraturan Kepegawaian dapat menjadi bagian dari penerapan Etika Birokrasi di negara kita.
B. Pengertian Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu “Ethes” berarti kesediaan jiwa akan kesusilaan, atau secara bebas dapat diartikan kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan. Dalam pengertian kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan sebetulnya tercakup juga adanya kesediaan karena kesusilaan dalam dirinya minta minta ditaati pula oleh orang lain.
Aristoteles juga memberikan istilah Ethica yang meliputi dua pengertian yaitu etika meliputi Kesediaan dan Kumpulan peraturan, yang mana dalam bahasa Latin dikenal dengan kata Mores yang berati kesusilaan, tingkat salah saru perbuatan (lahir, tingkah laku), Kemudian perkataan Mores tumbuh dan berkembang menjadi Moralitas yang mengandung arti kesediaan jiwa akan kesusilaan1. Dengan demikian maka Moralitas mempunyai pengertian yang sama dengan Etika atau sebaliknya, dimana kita berbicara tentang Etika Birokrasi tidak terlepas dari moralitas aparat Birokrasi penyelenggara pemerintahan itu sendiri.
Etika dan moralitas secara teoritis berawal dari pada ilmu pengetahuan (cognitive) bukan pada efektif. Moralitas berkaitan pula dengan jiwa dan seamangat kelompok masyarakat. Moral terjadi bila dikaitkan dengan masyarakat, tidak ada moral bila tidak ada masyarakat dan seyogyanya tidak ada masyarakat tanpa moral2, dan berkaitan dengan kesadaran kolektif dalam masyarakat. Immanuel Kant, teori moralitas tidak hanya mengenai hal yang baik dan yang buruk, tetapi menyangkut masalah yang ada dalam kontak social dengan masyarakat, ini berarti Etika tidak hanya sebatas moralitas individu tersebut dalam artian aparat birokrasi tetapi lebih dari itu menyangkut perilaku di tengah-tengah masyarakat dalam melayani masyarakat apakah sudah sesuai dengan aturan main atau tidak, apakah etis atau tidak.
Menurut Drs.Haryanto, MA. Bahwa Etika merupakan instrumen dalam masyarakat untuk menuntun tindakan (perilaku) agar mampu menjalankan fungsi dengan baik dan dapat lebih bermoral.3 Ini berarti Etika merupakan norma dan aturan yang turut mengatur perulaku seseorang dalam bertindak dan memainkan perannya sesuai dengan aturan main yang ada dalam masyarakat agar dapat dikatakan tindakannya bermoral.
Dari beberapa pendapat yang menegaskan tentang pengertian Etika di atas jelaslah bagi kita bahwa Etika terkait dengan moralitas dan sangat tergantung dari penilaian masyarakat setempat, jadi dapat dikatakan bahwa moral merupakan landasan normative yang didalamnya mengandung nilai-nilai moralitas itu sendiri dan landasan normative tersebut dapat pula dinyatakan sebagai Etika yang dalam Organisasi Birokrasi disebut sebagai Etika Birokrasi.
C. Alasan Pentingnya Etika Dalam Birokrasi.
Ketika kenyataan yang kita inginkan jauh dari harapakan kita, maka pasti akan timbul kekecewaan, begitulah yang terjadi ketiga kita mengharapkan agar para aparatur Birokrasi bekerja dengan penuh rasa tanggungjawab, kejujuran dan keadilan dijunjung, sementara yang kenyataan yang terjadi mereka sama sekali tidak bermoral atau beretika, maka disitulah kita mengharapkan adanya aturan yang dapat ditegakkan yang menjadi norma atau rambu-rambu dalam melaksanakan tugasnya. Sesuatu yang kita inginkan itu adalah Etika yang yang perlu diperhatikan oleh aparat Birokrasi tadi.
Ada beberapa alasan mengapa Etika Birokrasi penting diperhatikan dalam pengembangan pemerintahan yang efisien, tanggap dan akuntabel, menurut Agus Dwiyanto,4 bahwa :pertama masalah – masalah yang dihadapi oleh birokrasi pemerintah dimasa mendatang akan semakin kompleks. Modernitas masyarakat yang semakin meningkat telah melahirkaan berbagai masalah – masalah publik yang semakin banyak dan komplek dan harus diselesaikan oleh birokrasi pemerintah. Dalam memecahkan masalh yang berkembang birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan – pilihan yang jelas seperti baik dan buruk. Para pejabat birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan yang sulit, antara baik dan baik, yang masing – masing memiliki implikasi yang saling berbenturan satu sama lain.
Dalam kasus pembebasan tanah, misalnya pilihan yang dihadapi oleh para pejabat birokrasi seringkaali bersifat dikotomis dan dilematis. Mereka harus memilih antara memperjuangkan program pemerintah dan memperhatikan kepentingan masyarakatnya. Masalah – masalah yang ada dalam “grey area “seperti ini akan menjadi semakin banyak dan kompleks seiring dengan meningkatnya modernitas masyarakat. Pengembangan etika birokrasi mungkin bisa fungsional terutama dalam memberi “ policy guidance” kepada para pejabat birokrat untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.
Kedua, keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan kecepatan perubahan dalam lingkungan birokrasi. Dinamika yang terjadi dalam lingkungan tentunya menuntut kemampuan birokrasi untuk melakukan adjustments agar tetap tanggap terhadap perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Kemampuan untuk bisa melakukan adjustment itu menuntut discretionary power yang besar. Penggunaan kekuasaan direksi ini hanya akan dapat dilakukan dengan baik kalau birokrasi memiliki kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai besarnya kekuasaan yang dimiliki dan implikasi dari penggunaan kekuasaan itu bagi kepentingan masyarakatnya. Kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai kekuasaan dan implikasi penggunaan kekuasaan itu hanya dapat dilakukan melalui pengembangan etika birokrasi.
Walaupun pengembangan etika birokrasi sangat penting bagi pengembangan birokrasi namun belum banyak usaha dilakukan untuk mengembangkannya. Sejauh ini baru lembaga peradilan dan kesehatan yang telah maju dalam pengembangan etika ,seperti terefleksikan dalam etika kedokteran dan peradilan. Etika ini bisa jadi salah satu sumber tuntunan bagi para professional dalam pelaksanaan pekerjaan mereka. Pengembangan etika birokrasi ini tentunya menjadi satu tantangan bagi para sarjana dan praktisi administrasi publik dan semua pihak yang menginginkan perbaikan kualitas birokrasi dan pelayanan publik di Indonesia.
Dari alasan yang dikemukakan di atas ada sedikit gambaran bagi kita mengapa Etika Birokrasi menjadi suatu tuntutan yang harus sesegera mungkin dilakukan sekarang ini, hal tersebut sangat terkait dengan tuntutan tugas dari aparat birokrasi tiu sendiri yang seiring dengan semakin komplesnya permasalahan yang ada dalam masyarakat dan seiring dengan fungsi pelayanan dari Birokrat itu sendiri agar dapat diterima dan dipercaya oleh masyarakat yang dilayani, diatur dan diberdayakan.
Untuk itu para Birokrat harus merubah sikap perilaku agar dapat dikatakan lebih beretika atau bermoral di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, dengan demikian harus ada aturan main yang jelas dan tegas yang perlu ditaati yang menjadi landasan dalam bertindak dan berperilaku di tengah-tengah masyarakat.
D. Darimana Etika Birokrasi Dibentuk.
Terbentuknya Etika Birokrasi tidak terlepas dari kondisi yang ada di dalam masyarakat yang bersangkutan, sesuai dengan aturan, norma, kebiasaan atau budaya di tengah-tengah masyarakat dalam suatu komunitas tertentu. Nilai-nilai yang ada dan berkembang di dalam masyarakat mewarnai sikap dan perilaku yang nantinya dipandang etis atau tidak etis dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan yang merupakan bagian dari fungsi aparat birokrasi itu sendiri.
Di negara kita yang masih kental budaya paternalistik atau tunduk dan taat kepada Bapak atau pemimpin pemerintahan yang juga merupakan pemimpin birokrasi, sehingga sangat sulit bagi masyarakat untuk menegur para aparat Birokrasi bahwa yang dilakukannya itu tidak etis atau tidak bermoral, mereka lebih banyak diam dan malah manut saja melihat perilaku yang adan dalam jajaran aparat birokrasi.
Dalam kondisi seperti di atas, inisiatif penetapan Etika bagi aparat Birokrasi atau penyelenggara pemerintahan hampir sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Dimana pemerintah atau organisasi yang disebut birokrasi merasa paling berkuasa dan merasa dialah yang mempunyai kewengan untuk menentukan sesuatu itu etis atau tidak bagi dirinya menurut versi atau pandangannya sendiri, tanpa mempedulikan apa yang aturan main di dalam masyarakat. Permasalahan ini sangat rumit karena Etika Birokrasi cenderung diseragamkan melalui peraturan Kepegawaian yang telah diatur dari Birokrasi tingkat atas atau pemerintah pusat, sementara dalam pelaksanaan tugasnya dia berada di tengah-tengah masyarakat, yang jadi pertanyaan sekarang apakah yang dikatakan Etis menurut peraturan kepegawaian yang mengetur Aparat Birokrasi dapat dapat dikatakan Etis pula dalam masyarakat ataupun sebaliknya.
Menurut Drs. Haryanto,MA dalam makalahnya mengatakan bahwa : Adalah sulit untuk menyetujui atau tidak mengenai perlunya Etika tersebut diundangkan secara formal. Etika sebagaimana telah dikatakan sebelumnya sangat terkait dengan moralitas yang mana di dalamnya memiliki pertimbangan-pertimbangan yang jauh lebih tinggi tentang apa yang disebut sebagai ‘kebenaran dan ketidakbenaran’ dan ‘kepantasan dan ketidakpantasan’.5
Dalam menyikapi pelaksanaan Etika Birokrasi di Indonesia sering dikaitkan dengan Etika Pegawai Negeri yang telah diformalkan lewat ketentuan dan peraturan Kepegawaian di negara kita, sehingga terkadang tidak menyentuh permasalahan Etika dalam masyarakat yang lebih jauh lagi disebut moral. Di sini tidak akan dipermasalahkan Etika Birokrasi itu diformalkan atau tidak tetapi yang terpenting adalah bagaimana penerapannya serta sangsi yang jelas dan tegas, ini semua mambutuhkan kemauan baik dari Aparat Birokrasi itu sendiri untuk mentaatinya.
Pelaksanaan Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, sebagaimana telah disinggung di atas perlu diperhatikan perihal sangsi yang menyertainya, karena Etika pada umumnya tidak ada sangsi fisik atau hukuman tetapi berupa sangsi social dalam masyarakt, seperti dikucilkan, dihujat dan yang paling keras disingkirkan dari lingkukgan masyarakat tersebut, sementara bagi Aparat Birokrasi sangat sulit, karena masyarakat enggan dan sungkan (budaya Patron yang melekat).
Begitu rumit dan kompleksnya permasalahan pemerintahan dewasa ini membuat para aparat birokrasi mudaj tergelincir atau terjerumus kedadalam perilaku yang menyimpang belum lagi karenan tuntutan atau kebutuhan hidupnya sendiri, untuk itu perlu adanya penegasan paying hukum atau norma aturan yang perlu disepakati bersama untuk dilakukan dan diayomi dengan aturan hukum yang jelas dan sangsi yang tegas bagi siapa saja pelanggarnya tanpa pandang bulu di dalam jajaran Birokrasi di Indonesia, seiring dengan itu oleh Paul H. Douglas dalam bukunya “Ethics in Government” yang dikutip oleh Drs. Haryanto, MA,6 tentang tindakan-tindakan yang hendaknya dihindari oleh seorang pejabat pemerintah yang juga merupakan aparat Birokrasi, yaitu :
1. Ikut serta dalam transaksi bisnis pribadi atau perusahaan swasta untuk keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan jabata kedinasan.
2. Menerima segala sesuatu hadiah dari pihak swsta pada saat ia melaksanakan transaksi untuk kepentinagn dinas.
3. Membicarakan masa depan peluang kerja diluar instansi pada saat it berada dalam tugas-tugas sebagai pejabat pemerintah.
4. Membocornakan informasi komersial atau ekonomis yang bersifat rahasia kepada pihak-pihak yang tidak berhak.
5. Terlalu erat berurusan dengan orang-orang diluar instansi pemerintah yang dalam menjalankan bisnis pokoknya tergantung dari izin pemerintah.
Dengan demikian jelas bahwa Etika Birokrasi sangat terkait dengan perilaku dan tindakan oleh aparat birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi dan kerjanya, apakah ia menyimpang dari aturan dan ketentuan atau tidak, untuk itu perlu aturan yang tegas dan nyata, sebab berbicara tentang Etika biasanya tidak tertulis dan sangsinya berupa sangsi social yang situasional dan kondisional tergantung tradisi dan kebiasaan masyarakat tersebut.
Untuk itu kami mencoba merekomendasikan mengenai Kode Etik Birokrasi mengacu kepada ketentuan Peraturan kepegawaian bagi Pegawai Negeri di Indonesia yang notabenen merupakan Aparat Birokrasi itu sendiri.
E. Peraturan Kepegawaian Sebagai Bagian Dari Penerapan Etika Birokrasi.
Berbicara tentang Etika Birokrasi tidak dapat dipisahkan dari Etika Aparatur Birokrasi itu sendiri karena ketika kita Etika Birokrasi didengungkan secara tertulis memang belum diuraikan dengan jelas namun secara eksplisit Etika Birokrasi telah termuat dalam peraturan Kepegawaian yang mengatur para aparat Birokrasi (Pegawai negeri) itu sendiri, yang mana kita tahu bahwa Birokrasi merupakan sebuah organisasi penyelenggara pemerintahan yang terstruktur dari pusat sampai kedaerah dan memiliki jenjang atau tingkatan yang disebut hirarki. Jadi Etika Birokrasi sangat terkait dengan tingkah laku para apata birokrasi itu sendiri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Aparat Birokrasi secara kongrit di negara kita yaitu Pegawai Negeri baik itu Sipil maupun Militer, yang secara Organisatoris dan hirarkis melaksanakan tugas dan fungsi masing-masing sessuai aturan yang telah ditetakan.
Etika Birokrasi merupakan bagian dari aturan main dalam organisasi Birokrasi atau Pegawai Negeri yang secara structural telah diatur aturan mainnya, dimana kita kenal sebagai Kode Etik Pegawai Negeri, yang telah diatur lewat Undang-undang Kepegawaian. Kode Etik yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) disebut Sapta Prasetya Korps Pegawai Republik Indonesia ( Sapta Prasetya KORPRI) dan dikalangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) disebut Sapta Marga7.
Dengan sendirinya Kode Etik itu dibaca secara bersama – sama pada kesempatan tertentu yang kadang –kadang diikuti oleh suatau wejangan dari seorang pimpinanupacara disebut inspektur upacara ( IRUP ), maksudnya adalah untuk menciptakan kondisi – kondisi moril yang menguntungkan dalam organisasi yang berpengalaman dan mempertumbuhkan sikap mentalyang diperlukan, juga untuk menciptakan moral yang baik. Kode Etik tersebut biasanya dibaca dalam upacara bendera, upacara bulanan atau upacara ulang tahun organisasi yang bersangkutan, dan upacara – upacara nasional.
Setiap organisasi, misalnya PNS atau TNI dan lain-lain ada usaha untuk membentuk Kode Etik yang lebih mengikat atau mengatur anggotanya agar lebih beretika dan bermoral. Namun sampai sekarang belum diketahui sampai seberapa jauhnya dan juga belum dapat dipantau secara jelas dari perbuatan seseorang apakah yang bersangkutan melanggar Etika atau Kode Etik atau tidak, karena belum jelas batasannya dan apa sangsinya, sehingga benar-benar dapat dipergunakan sebagai ukuran atau criteria untuk menilai perilaku atau tingkah laku aparat Birokrasi sehingga disebut beretika atau tidak.
Tetapi apapun dan bagaimanapun maksud yang hendak dicapai dengan membentuk, menanamkan Kode Etik tersebut adalah demi terciptanya Aparat Birokrasi lebih jujur, lebih bertanggung jawab, lebih berdisiplin, dan lebih rajin serta yang terpenting lebih memiliki moral yang baik terhindar dari perbuatan tercela seperti korupsi, kolusi, nepotisme dan lain-lain.
Agar tercipta Aparat Birokrasi yang lebih beretika sesuai harapan di atas, maka perlu usaha dan latihan ke arah itu serta penegakkan sangsi yang tegas dan jelas kepada mereka yang melanggar kode Etik atau aturan yang telah ditetapkan. Dalam hubungannya dengan Kode Etik Pegawai Negeri yaitu dengan betul-betul menjiwai, menghayati dan melaksanakan Sapta Pra Setya Korpri, serta aturan-aturan kepegawaian yang telah ditentukan atau ditetapkan sebagai aturan main para aparat Birokrasi.
Adapun aturan-aturan pokok yang melekat pada seorang Pegawai Negeri atau Aparat Birokrasi yang dapat dijadikan acuan Kode Etiknya dapat dilihat sebagai berikut :
1. Aturan mengenai Pembinaan Pegawai Negeri Sipil
Untuk menjamin terselenggaranya tugas-tugas umum pemerintahan secara berdayaguna dan berhasilguna dalam rangka usaha mewujutkan masyarakat adil dan makmur baik material maupun spiritual, dimana diperlukan adanya Pegawai Negeri sebagai unsure aparatur negara yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, bersih, berwibawa bermutu tinggi dan sadar akan tugas serta tanggungjawabnya. Dlam hubungan ini Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 telah meletakkan dasar yang kokoh untuk mewujutkan Aparat Birokrasi atau PNS seperti dimaksud di atas dengan cara mengatur kedudukan, kewajiban bagi Aparat Birokrasi sebagai salah satu kewajiban dan langkah usaha penyempurnaan aparatur negara di bidang kepegawaian.
2. Aturan menegnai kedudukan Pegawai Negeri sipil
Pegawai Negeri sipil adalah unsure aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang dengan kesetiaan dan ketaatan kepada pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah, menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, pelayanan kepada masyarakat, mengatur masyarakat atau regulasi dan memberdayakan masyarakat. Kesetiaan dan ketaatan penuh tersebut mengandung pengertian bahwa pegawai negeri berada sepenuhnya dibawah aturan yang telah ditentukan.
3. Penghargaan Pegawai Negeri sipil
Kepada Pegawai negeri dapat diberikan penghargaan apabila telah menunjukkan kesetiaan dan prestasi kerja dan memiliki etika kerja yang baik, dianggap berjasa bagi negara dan masyarakat perlu diberikan penghargaan kepada Pegawai Negeri yang bersangkutan berupa tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa yang secara otomatis kenaikkan gajinya sesuai pangkat, dengan harapan agar menjadi contoh kepada yang lain dalam melaksanakan tugas.
4. Keanggotaan Pegawai negeri dalam Partai Politik
Untuk menjaga netralitas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya agar lebih beretika dan bermoral, supaya terhindar dari kepentingan partai politik, maka sebaiknya Pegewai Negeri yang bersangkutan memundurkan diri demi menjaga moralitas yang merupakan etika aparat birokrasi.
5. Peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil
Ketentuan tentang Disiplin Pegawai Negeri sipil diatur dalam Peratuiran Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut antara lain diatur hal-hal sebagai berikut : Kewajiban, larangan, sangsi, tata cara pemeriksaan, tata cara pengajuan keberatan terhadap hukuman disiplin yang kesemuanya dapat menjadi acuan dalam beretika bagi seorang aparat Birokrasi atau Pegawai Negeri. Peraturan disiplin Pegawai Negeri yang menjadi kewajiban dan harus ditaati sesuai Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, antara lain mengatur tentang :
- Kesetiaan terhadap Pancasila dan UUD 1945, Negara dan Pemerintah.
- Mengangkat dan mentaati sumpah/ janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/ janji jabatan berdasarkan peraturan yang berlaku serta siap menerima sangsinya.
- Menyimpan rahasia negara dan atau rahasi jabatan dengan sebaik-baiknya.
- Bekerja dengan jujur, tertib, cermat, bersemangat untuk kepentingan negara.
- Segera melaporkan kepada atasannya, apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara/ pemerintah, terutama di bidang keamanan, keuangan, dan material.
- Mentaati ketentuan jam kerja.
- Memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat.
- Bersikap adil dan bijaksana terhadaop bawahannya.
- Menjadi atau memberikan contoh teladan terhadap bawahannya.
- Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk meningkatkan kariernya.
- Berpakaian rapi dan sopan serta bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat, sesama pegawai dan atasannya.

Sementara Larangan yang merupakan aturan main yang turut mengatur perilaku aparat Birokrasi atau pegawai Negeri menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun1980, yang juga dapat dijadikan sebagai Kode Etik Birokrasi, yaitu larangan seperti :
- Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat Negara, Pemerintah atau Pegawai Negeri sipil.
- Menyalahgunakan wewenangnya.
- Menyalahgunakan barang-barang, uang atau surat-surat berharga milik negara.
- Menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun yang diketahui atau patut dapat diduga bahwa pemberian itu bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan Pegawai Negeri yang bersangkutan.
- Memasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat pegawai negeri sipil, kecuali kepentingan jabatan.
- Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya.
- Bertindak selaku perantara bagi sesuatu pengusaha atau golongan untuk mendapat pekerjaan atau peranan dari kantor/ instansi pemerintah.
- Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam melaksanakan tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain.
Semua kewajiban dan larangan yang diuraikan diatas kiranya dapat dipahami oleh pegawai negeri sipil selaku aparat birokrasi sebagai pagar atau norma dan aturan yang merupakan bagian dari Etika atau kode etik Pegawai Negeri yang notabenen merupakan aparat birokrasi.
Selain Kewajiban dan Larangan yang harus ditaati oleh Pegawai Negeri, juga yang tidak kalah penting dalam pembentukan Etika Birokrasi adalah sangsi atau hukuman yang setimpal dengan pelanggaran atas ketentuan tersebut di atas. Jenis sangsi atau hukuman yang dapat dijatuhkan kepada Pagawai Negeri sangatlah bervariasi sesuai tingkat pelanggaran, adapun jenis sangsi tersebut menurut Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 terdiri dari :
1. Hukuman disiplin ringan antara lain :
- teguran lisan
- teguran tertulis
- pernyataan tidak puas secara tertulis.
2. Jenis hukuman disiplin sedang, antara lain :
- penundaan kenaikkan gaji berkala untuk paling lama satu tahun
- penurunan gaji sebesar satu kali gaji berkala untuk paling lama satu tahun.
- Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama satu tahun.
3. Jenis hukuman disiplin berat, terdiri dari :
- penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah paling lama satu tahun.
- Pembebasan dari jabatan.
- Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri selaku pegawai negeri sipil.
- Pemberhentian dengan tidak hormat sebagai pegawai negeri sipil.
Dari sangsi hukuman yang diberikan dan patut diterima bagi siapa saja pelanggar Etika atau peraturan yang turut mengatur moralitas para aparat birokrasi di atas, jelaslah bagi kita beratnya sangsi atau hukuamn yang telah ditentukan, namun sekarang kembali lagi kepada penegakkan sangsi atas pelanggaran Etika tersebut, apa betul-betul dilaksanakan atau ditegakkan kepada mereka yang melanggar atau hanya sebatas retorika ataupun sangsi social saja, karena sangsi social hanya efektif apabila aparat Birokrasi itu berada di tengah-tengah masyarakat, sementara apabila dalam organisasi Birokrasi harus tegas berupa sangsi hukuman sesuai peraturan perundang-undangan tersebut di atas.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peraturan kepegawaian juga dapat dijadikan salah satu bagian dari kode Etik Birokrasi yang nantinya dapat mengatur segala bentuk tingkah laku dari Aparat Birokrasi dengan segala sangsi yang mengikat, sehingga diharapkan pelaksanannya dapat membuat aparat birokrasi lebih beretika. Jadi selain etika yang berlaku dalam masyarakat dimana aparat birokrasi merupakan bagian dalam masyarakat, maka secara otomatis dia harus terikat dengan aturan tersebut, sementara di satu sisi Aparat Birokrsi mempunyai aturan main sendiri yang secara Nasional di Seluruh Indonesia dapat diterapkan yaitu tercermin dalam Sapta Pra Setya Korpri bagi pegawai negeri dan Sapta Marga bagi TNI, serta aturan Kepegawaian yang berlaku dan juga ketentuan atau sangsi yang tegas dan nyata. Ini diharapkan dapat menjadi Kode Etik Birokrasi dan menjadi aturan main dalam dalam melaksanakan tugas dan fungsi Birokrasi agar dikatakan birokrasi lebih beretika dan bermoral.
F. P E N U T U P
Uraian-uraian dari makalah yang disajikan diatas, hanya merupakan konsep ideal yang diharapka dari aparat pelaksana pemerintahan di Indonesia yang merupakan aparat birokrasi di negara kita yang mempunyai tugas dan fungsi pokok untuk melayani masyarakat, mengatur masyarakat dan memberdayakan masyarakat. Fungsi-fungsi ini dapat dilaksanakn dengan baik apabila Aparat Birokrasi tersebut memiliki Etika dalam bekerja.
Etika Birokrasi bukan hanya sekedar retorika yang didengungkan baik lewat Sapta Pra Setya Korpri maupun Sapta Marga dan sederetan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Tentang kepegawaian, tetapi lebih dari itu bagaiaman ketentuan-ketentuan tersebut dapat dapat dihayati dan diamalkan dalam berepilaku sebagai Aparat Birokrasi dan yang tidak kalah penting yaitu bagaiman penegakkan hukum atau sangsi yang tegas bagi para pelanggar aturan yang telah disepakati dan ditentukan tersebut. Hukuman atau sangsi perlu ditegakkan secara merata tanpa pandang bulu apakah dia atasan atau bawahan semuanya harus sama di mata hukum.
Masyarakat juga berhak menentukan kode Etik atau aturan dalam masyarakat yang juga turut mengatur keberadaan seorang Aparat Birokrasi di lingkungannya, kalau memang melanggar harus ada komitmen bersama untuk mentaati aturan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Jadi yang disebut Etika Birokrasi merupakan norma aturan yang melekat pada anggota atau aparat Birokrasi itu sendiri di manapun dan kapan dia berada, baik di kantor maupun di tengah-tengah masyarakat dia teriakt dengan aturan kepegawaian dan aturan norma dalam masyarakat yang menjadi lansasan Etika dalam bertindak dan berperilaku dalam melaksanakan tugasnya.

1 Aristoteles dalam Prof. Drs.H.A.Widjaja, Etika Pemerintahan, Edisi kedua, Bumi Aksara, Jakarta, 1997.
2 widjaja, AW. Masyarakat dan Permasayarakatan Ideologi Pancasila, bandung, Cv Armico, 1985.
3 Drs. Haryanto, MA, Kuliah Birokrasi Indonesia, Politik Lokal Otonomi Daerah Program Pasca Sarjana UGM,Yogyakarta,2002.
4 Agus Dwiyanto, Pemerintah Yang Baik, Tanggap, Efisien, dan Akuntabel, Kontrol atau Etika, Seminar Forum Kebijakan Publik, Pasca Sarjana, UGM, Yogyakarta, 2000.
5 Drs. Haryanto, MA, Makalah Etika Pemerintahan, Staf Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL, UGM, Yogyakarta.hal.8,9.
6 Ibid,.. hal 15,16.
7 Prof. Drs. H.a. Widjaja, Etika Pemerintahan, Bumi Aksara, Jakarta, 1997. hal.23.
PARADIGMA PERUBAHAN DOKUMEN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

Oleh : Empi Muslion.JB

===============================
tanjung_priok_harbour_1935.jpg
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan landasan konstitusional penyelenggaraan negara, dalam waktu relatif singkat (1999-2002), telah mengalami 4 (empat) kali perubahan. Dengan berlakunya amandemen UUD 1945 tersebut, telah terjadi perubahan dalam pengelolaan pembangunan, yaitu : (1) penguatan kedudukan lembaga legislatif dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); (2) ditiadakannya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional; dan (3) diperkuatnya otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mengenai dokumen perencanaan pembangunan nasional yang selama ini dilaksanakan dalam praktek ketatanegaraan adalah dalam bentuk GBHN yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Ketetapan MPR ini menjadi landasan hukum bagi Presiden untuk dijabarkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan dengan memperhatikan saran DPR, sekarang tidak ada lagi.
Instrumen dokumen perencanaan pembangunan nasional yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai acuan utama dalam memformat dan menata sebuah bangsa, mengalami dinamika sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman. Perubahan mendasar yang terjadi adalah semenjak bergulirnya bola reformasi, seperti dilakukannya amandemen UUD 1945, demokratisasi yang melahirkan penguatan desentralisasi dan otonomi daerah (UU Nomor 22/1999 dan UU Nomor 25/1999 yang telah diganti dengan UU Nomor 32/2004 dan UU Nomor 33/2004), UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, penguatan prinsip-prinsip Good Governance : transparansi, akuntabilitas, partisipasi, bebas KKN, pelayanan publik yang lebih baik. Disamping itu dokumen perencanaan pembangunan nasional juga dipengaruhi oleh desakan gelombang globalisasi (AFTA, WTO, dsb) dan perubahan peta geopolitik dunia pasca tragedi 11 September 2001.
Perjalanan dokumen perencanaan pembangunan nasional sebagai kompas pembangunan sebuah bangsa, perkembangannya secara garis besar dapat dilihat dalam beberapa periode yakni :
Dokumen perencanaan periode 1958-1967
Pada masa pemerintahan presiden Soekarno (Orde Lama) antara tahun 1959-1967, MPR Sementara (MPRS) menetapkan sedikitnya tiga ketetapan yang menjadi dasar perencanaan nasional yaitu TAP MPRS No.I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara, TAP MPRS No.II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969, dan Ketetapan MPRS No.IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan.
Dokumen perencanaan periode 1968-1998
Landasan bagi perencanaan pembangunan nasional periode 1968-1998 adalah ketetapan MPR dalam bentuk GBHN. GBHN menjadi landasan hukum perencanaan pembangunan bagi presiden untuk menjabarkannya dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita), proses penyusunannya sangat sentralistik dan bersifat Top-Down, adapun lembaga pembuat perencanaan sangat didominasi oleh pemerintah pusat dan bersifat ekslusif. Pemerintah Daerah dan masyarakat sebagai subjek utama out-put perencanaan kurang dilibatkan secara aktif. Perencanaan dibuat secara seragam, daerah harus mengacu kepada perencanaan yang dibuat oleh pemerintah pusat walaupun banyak kebijakan tersebut tidak bisa dilaksanakan di daerah. Akibatnya mematikan inovasi dan kreatifitas daerah dalam memajukan dan mensejahterakan masyarakatnya. Distribusi anggaran negara ibarat piramida terbalik, sedangkan komposisi masyarakat sebagai penikmat anggaran adalah piramida seutuhnya.
Sebenarnya pola perencanaan melalui pendekatan sentralistik/top-down diawal membangun sebuah bangsa adalah sesuatu hal yang sangat baik, namun pola sentralistik tersebut terlambat untuk direposisi walaupun semangat perubahan dan otonomi daerah telah ada jauh sebelum dinamika reformasi terjadi.
Dokumen perencanaan periode 1998-2000
Pada periode ini yang melahirkan perubahan dramatis dan strategis dalam perjalanan bagsa Indonesia yang disebut dengan momentum reformasi, juga membawa konsekuensi besar dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan nasional, sehingga di periode ini boleh dikatakan tidak ada dokumen perencanaan pembangunan nasional yang dapat dijadikan pegangan dalam pembangunan bangsa, bahkan sewaktu pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid terbersit wacana dan isu menyangkut pembubaran lembaga Perencanaan Pembangunan Nasional, karena diasumsikan lembaga tersebut tidak efisien dan efektif lagi dalam konteks reformasi.
Dokumen perencanaan periode 2000-2004
Pada sidang umum tahun 1999, MPR mengesahkan Ketetapan No.IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004. Berbeda dengan GBHN-GBHN sebelumnya, pada GBHN tahun 1999-2004 ini MPR menugaskan Presiden dan DPR untuk bersama-sama menjabarkannya dalam bentuk Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) yang memuat APBN, sebagai realisasi ketetapan tersebut, Presiden dan DPR bersama-sama membentuk Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional 2000-2004. Propenas menjadi acuan bagi penyusunan rencana pembangunan tahunan (Repeta), yang ditetapkan tiap tahunnya sebagai bagian Undang-Undang tentang APBN. sedangkan Propeda menjadi acuan bagi penyusunan Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (Repetada).
Dokumen perencanaan terkini menurut UU Nomor 25 tahun 2004 tentang SPPN
Diujung pemerintahannya Presiden Megawati Soekarno Putri menandatangani suatu UU yang cukup strategis dalam penataan perjalanan sebuah bangsa untuk menatap masa depannya yakni UU nomor 25 tentang Sistem Perencanan Pembangunan Nasional. Dan bagaimanapun UU ini akan menjadi landasan hukum dan acuan utama bagi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memformulasi dan mengaplikasikan sesuai dengan amanat UU tersebut. UU ini mencakup landasan hukum di bidang perencanaan pembangunan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dalam UU ini pada ruang lingkupnya disebutkan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan di pusat dan daerah dengan melibatkan masyarakat.
Intinya dokumen perencanaan pembangunan nasional yang terdiri dari atas perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu oleh kementerian/lembaga dan perencanaan pembangunan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenanganya mencakup : (1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dengan periode 20 (dua puluh) tahun, (2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dengan periode 5 (lima) tahun, dan (3) Rencana Pembangunan Tahunan yang disebut dengan Rencana Kerja Pemerintah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKP dan RKPD) untuk periode 1 (satu) tahun.
Lahirnya UU tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional ini, paling tidak memperlihatkan kepada kita bahwa dengan UU ini dapat memberikan kejelasan hukum dan arah tindak dalam proses perumusan perencanaan pembangunan nasional kedepan, karena sejak bangsa ini merdeka, baru kali ini UU tentang perencanaan pembangunan nasional ditetapkan lewat UU, padahal peran dan fungsi lembaga pembuat perencanaan pembangunan selama ini baik di pusat maupun di daerah sangat besar.
Tapi pertanyaan kita, apakah UU nomor 25 tahun 2004 tentang SPPN ini tidak hanya bertukar kulit saja ? apakah RPJP, RPJM, RKP itu secara model dan mekanisme perumusannya sama saja halnya dengan program jangka panjang yang terkenal dengan motto menuju Indonesia tinggal landas, Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dengan berbagai periode dan APBN sebagai program satu tahunnya semasa pemerintahan Orde Baru ?
Apakah aspirasi, partisipasi dan pelibatan masyarakat dalam proses penjaringan, penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi dari perencanaan yang dibuat, masih dihadapkan pada balutan sloganistis dan pemenuhan azas formalitas belaka ? mungkin substansi ini yang perlu kita sikapi bersama dalam konteks perumusan kebijakan dokumen perencanaan pembangunan nasional maupun daerah ini kedepan.

Tahap-tahap pembuatan kebijakan publik menurut William Dunn

Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn. [1] adalah sebagai berikut:
1. Penyusunan Agenda
Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain.
Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan.
Ada beberapa Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber, 1974; Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986)[2] diantaranya:
1. telah mencapai titik kritis tertentu à jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang serius;
2. telah mencapai tingkat partikularitas tertentu à berdampak dramatis;
3. menyangkut emosi tertentu dari sudut kepent. orang banyak (umat manusia) dan mendapat dukungan media massa;
4. menjangkau dampak yang amat luas ;
5. mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat ;
6. menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya)
Karakteristik : Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.
Ilustrasi : Legislator negara dan kosponsornya menyiapkan rancangan undang-undang mengirimkan ke Komisi Kesehatan dan Kesejahteraan untuk dipelajari dan disetujui. Rancangan berhenti di komite dan tidak terpilih.
Penyusunan agenda kebijakan seyogianya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder.
2.Formulasi kebijakan
Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing slternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.[3]
3. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan
Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan.[4] Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah.[5]Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah.Mendukung. Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota mentolerir pemerintahan disonansi.Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar untuk mendukung pemerintah.[6]
4. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan
Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak.[7] Dalam hal ini , evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalh-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan. [8]

Berdasarkan berbagai definisi para ahli kebijakan publik, kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di masyarakat di mana dalam penyusunannya melalui berbagai tahapan.[1] [sunting] Tahap-tahap pembuatan kebijakan publik menurut William Dunn
Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn. [1] adalah sebagai berikut:
1. Penyusunan Agenda
Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain.
Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan.
Ada beberapa Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber, 1974; Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986)[2] diantaranya:
1. telah mencapai titik kritis tertentu à jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang serius;
2. telah mencapai tingkat partikularitas tertentu à berdampak dramatis;



4. menjangkau dampak yang amat luas ;
5. mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat ;
6. menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya)
Karakteristik : Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.
Ilustrasi : Legislator negara dan kosponsornya menyiapkan rancangan undang-undang mengirimkan ke Komisi Kesehatan dan Kesejahteraan untuk dipelajari dan disetujui. Rancangan berhenti di komite dan tidak terpilih.
Penyusunan agenda kebijakan seyogianya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder.
2.Formulasi kebijakan
Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.[3]
3. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan
Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan.[4] Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah.[5]Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah.Mendukung. Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota mentolerir pemerintahan disonansi.Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar untuk mendukung pemerintah.[6]
5. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan
Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak.[7] Dalam hal ini , evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalh-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan. [8]

Rujukan

  1. ^ a b William Dunn. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, 1998, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal: 24
  2. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama a3
  3. ^ Kebijakan Publik: teori dan Proses. Jakarta: PT Buku Kita. Hlm 33.
  4. ^ , R. daniel. Lecture 7a – Legitimation and Decision-Making, dalam www.www.csub.edu/~rdaniels/ppa_503_lecture7a.pp.
  5. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama b2
  6. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama b3
  7. ^ Budi Winanrno, 2008. Jakarta:PT buku Kita. hal 225.
  8. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama a5
  9. ^ Budi Winanrno,2008. jakarta: PT Buku Kita
  10. ^ William N Dunn.1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press)
  11. ^ R. Danie. Lecture 7a – Legitimation and Decision-Making, dalam www.www.csub.edu/~rdaniels/ppa_503_lecture7a.pp.
Tesis Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota X)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebutuhan akan pemerintahan yang efektif adalah suatu keniscayaan bagi tiap masyarakat/negara, apapun model, bentuk negara dan ideologi yang diadopsi dan bagaimanapun cara mereka memandang sejauh mana batas keterlibatan atau peran pemerintah dalam menangani urusan-urusan rakyatnya, terutama untuk mencapai tujuan kesejahteraan rakyat.
Dalam kacamata pembangunan sosial sebagai suatu pendekatan, cara pandang perspektif institusional (institutional perspective), yang berupaya untuk memobilisir berbagai institusi sosial termasuk pasar, masyarakat dan pemerintah/negara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, manempatkan peran pemerintah di jajaran terdepan. Posisi pemerintah yang memiliki peran yang besar tersebut juga semakin menunjukkan urgensi terhadap pemerintah yang efektif baik dalam memobilisir berbagai institusi sosial maupun menjalankan fungsi utamanya sebagai pemberi pelayanan kepada masyarakat.
Menurut Loughlin, pemerintahan yang efektif dalam wacana politik dan pemerintahan dicirikan salah satunya adalah bersifat desentralistik, bukan yang sentralistik berlebihan. Ini disebabkan adanya kekhawatiran bahwa sentralisasi kekuasaan cenderung akan menimbulkan tirani. Maka di sini dibutuhkan adanya pemerintahan daerah (berdasar azas desentralisasi) yang juga berperan sebagai alat untuk mengakomodasikan pluralitas di dalam suatu negara modern.
Keberadaan/pembentukan daerah otonom melalui desentralisasi pada hakekatnya adalah untuk menciptakan efisiensi dan inovasi dalam pemerintahan (Sarundajang, 2001:5). Dalam konteks pelayanan sebagai salah satu fungsi hakiki pemerintahan, pelaksanaan asas desentralisasi melalui pemberian otonomi kepada daerah dapat membuat penyediaan pelayanan publik juga menjadi lebih efektif dan efisien. Hal ini menurut Rondinelli dalam Kurniawan dapat terjadi terutama karena melalui otonomi terjadi optimalisasi hirarkhi dalam penyampaian layanan akibat dari penyediaan pelayanan publik dilakukan oleh institusi yang merniliki kedudukan lebih dekat dengan masyarakat sehingga keputusan-keputusan strategis dapat lebih mudah dibuat; juga karena adanya penyesuaian layanan terhadap kebutuhan dan kondisi yang ada di tingkat lokal sehingga alokasi anggaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi yang ada di wilayahnya.
Kondisi ideal tersebut tampaknya masih cukup sulit untuk diwujudkan di Indonesia karena sejumlah alasan. Salah satu determinan yang menjadi sorotan oleh berbagai kalangan adalah bahwa birokrasi peninggalan orde baru yang cenderung lemah dan lamban, akan menghambat pelaksanaan otonomi daerah. Dalam kondisi yang demikian, maksud penyelenggaran otonomi daerah (penyediaan pelayanan yang efektif dan efisien. serta pemerintahan yang efisien, inovatif) yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat tentu akan sukar dicapai.
** BAGIAN INI SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **
Angka tersebut di atas tergolong cukup tinggi dan mengkhawatirkan, mengingat masalah pendidikan adalah unsur yang sangat menentukan kemajuan bangsa di samping sebagai salah satu tolok ukur tingkat kesejahteraan tentunya. ironisnya hal tersebut masih terjadi, padahal sejak tahun 2003 melalui UU SPN (Sistem Pendidikan Nasional) No 20/2003 sudah ditetapkan alokasi dana minimal 20 persen dari APBN dan APBD. Kenyataannya hal itu belum terpenuhi di tingkat nasional dan juga di daerah-daerah.
Ketidakmampuan tersebut di atas, sebabnya cukup beragam untuk masing masing daerah. Ada yang memang karena kemampuan daerah yang sangat minim, tapi tidak jarang pula karena faktor birokrasi pemerintahannya yang bermasalah. Daerah tersebut sebenarnya punya kemampuan (karena kekayaan sumber daya alamnya misalnya), tetapi karena kesalahan skala prioritas (dengan melaksanakan program mercusuar, rumah dinas yang mewah dll), inefisiensi, korupsi dan lain sebagainya. Hal-hal seperti inilah yang menurut Lusk sebagai penghalang upaya-upaya pembangunan sosial dengan merujuk pada kondisi inefisiensi birokrasi (bureaucratic inefficiency), peraturan/perundang-undangan yang berbelit-belit (complex rules and regulations) dan korupsi pemerintahan (political corruption) di Amerika Latin.
Problem yang dihadapi di negeri ini dapat dikatakan relatif sama. Birokrasi Indonesia dan negara-negara berkembang saat ini oleh Prasojo digambarkan sebagai sesuatu yang berat, lambat, tidak kreatif dan tidak sensitif terhadap publik. Islamy menilai birokrasi di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat negara patrimonialistik tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under producing). tidak obyektif, menjadi pemarah ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum. tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan represif.
Penilaian lain juga mengungkapkan, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hasil penelitian, bahwa birokrasi di Indonesia ada kecenderungan berkembang kearah “parkinsonian” dimana terjadinya proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali. Pemekaran yang terjadi bukan karena tuntutan fungsi dan kebutuhan, tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur. Disamping itu, terdapat pula kecenderungan terjadinya birokrasi “orwellian” yakni proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi. Akibatnya, birokrasi Indonesia semakin membesar (big bureaucracy) dan cenderung tidak efektif dan tidak efesien. Pada kondisi yang demikian, sangat sulit diharapkan birokrasi siap dan mampu melaksanakan kewenangan-kewenangan barunya secara optimal.
Seorang konsultan manajemen organisasi bisnis dan publik sempat mengamati perilaku pegawai birokrasi (pemerintahan) di salah satu propinsi kawasan Indonesia Timur. Sebagian pegawai datang pukul delapan untuk absen, setengah jam kemudian pergi ke warung kopi sampai pukul satu, kemudian kembali ke kantor dan pukul dua ia sudah menghilang. Ketika berdialog dengan pimpinan mereka, sang Gubernur langsung mengeluhkan “saya tidak tahu bagaimana caranya agar birokrasi di tempat saya, bisa melayani rakyat lebih baik lagi. Saya tidak mau ada filsafat “kalau bisa diperlambat, kenapa dipercepat” katanya. Dalam kondisi yang seperti ini, berbicara peningkatan produktivitas kerja, pelayanan prima akan terkesan terlalu dini.
Berbagai “penyakit’ pun seakan tak pernah lekang dari tubuh birokrasi. Fenomena ini belakangan sering disebut dengan istilah patologi birokrasi (penyakit birokrasi). Siagian mencirikan kecenderungan patologi karena persepsi, perilaku birokrasi dituding sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam dan gaya manajerial, masalah pengetahuan dan ketrampilan. tindakan melanggar hukum keperilakuan, dan adanya situasi internal. Kategorisasi yang terdiri dari 5 poin itu, bila dirinci bisa melahirkan puluhan penyakit birokrasi, seperti penyalahgunaan wewenang dan jabatan, menerima sogok, mempertahankan status quo, penipuan, tidak peduli kritik/saran, tidak mau bertindak, takut mengambil keputusan, kurangnya komitmen, kurangnya kreativitas dan eksperimentasi. Kurangnya visi yang imajinatif, nepotisme. patronase, keengganan mendelegasikan, ritualisme, xenophobia, ketidakmampuan belajar dan berkembang, pura-pura sibuk, cara kerja legalistik, tidak disiplin dan pertentangan kepentingan, kurangnya prakarsa, ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko, penggemukan pembiayaan, korupsi kontrak fiktif, bertindak sewenang-wenang. kaku, tidak peka, tidak peduli mutu kinerja, tanggung jawab rendah, kerja berbelit-belit, kerja asal jadi, tidak profesionaI, pemborosan, ketidak tepatan sasaran dan tujuan, pengangguran terselubung, terlalu banyak pegawai, sarana dan prasarana yang tidak tepat, dan masih banyak jenis penyakit birokrasi lainnya (Siagian, 1994:35-145).
Munculnya ekonomi biaya tinggi, yang membuat rakyat terbebani. Juga dituduh bertanggung jawab dalam munculnya “mentalitas birokrasi” yang diidentikkan dengan pola perilaku 4-D: duduk, datang, diam dan (dapat) duit. Bahkan birokrasi juga dituduh sebagai penyebab menyebarnya kultur negatif, aji mumpung, korupsi dan sebagainya. Pada birokrasi melekat stigma kaku, reaktif, inefisien. Jauh dari bayangan ideal Weber tiga abad silam, yang sampai abad keduapuluh birokrasi dipercaya sebagai satu-satunya organisasi yang bisa mengatur mekanisme pemerintahan secara efisien.
Keburukan birokrasi memang sudah begitu jelasnya dan telah menjadi gejala yang sangat merata. Mempersoalkannya tidak lagi dirasakan sebagai kritik keilmuan dan tidak mesti datang dari seorang pakar. Kesan negatif terhadap birokrasi meluas menjadi pemahaman umum bagi masyarakat yaitu bahwa birokrasi adalah representasi organisasi yang lamban dan terpusat, pemenuhan terhadap ketentuan dan peraturan, serta rantai hirarkhi komando, tidak lagi berjalan baik. Birokrasi menjadi bengkak, boros dan tidak efektif.
Saat ini kesadaran terhadap problem yang melekat pada birokrasi akhirnya mengantarkan pada suatu kesimpulan bahwa harus ada “sesuatu” untuk memperbaiki kebobrokan birokrasi sebagai organisasi publik. Sesuatu itu adalah “perubahan/pembaharuan”. Dalam wacana akademik maupun praktisi muncul istilah-istilah seperti reformasi birokrasi, reformasi administrasi, reformasi manajemen sektor publik dan lain sebagainya. Walaupun latar belakang lahirnya dan definisi-definisi tersebut tidak sama persis, namun mempunyai titik temu pada upaya pembenahan pengelolaan sektor publik secara lebih baik, lebih profesional.
Penerapan pendekatan manajemen profesional pada sektor publik telah banyak disuarakan oleh para pakar dengan berbagai istilah, misalnya dengan nama “managerialism” oleh Pollitt, “new public management” oleh Hood, “market based public administration” oleh Lan dan Rosenbloom, dan “entrepreneurial government/reinventing government” oleh Osborn dan Gaebler. Apapun istilah yang dipergunakan, yang jelas pendekatan manajemen profesional ini telah merubah orientasi fokus peran dan fungsi birokrasi dalam pemerintahan yang semula lebih mementingkan “process” menuju ke “product’, atau dari “rule governance” menuju ke “goal governance”, yang pada pelaksanaannya membutuhkan paradigma baru, inovasi, perubahan struktur, kreativitas, tekad/keberanian, efisiensi tinggi, kecepatan, fleksibelitas, optimisme, kegigihan dan lain sebagainya berupa nilai-nilai yang sebelumnya dianggap hanya milik organisasi bisnis dan para entrepreneur.
Dalam konteks Indonesia, upaya perbaikan citra/pembenahan birokrasi yang telah mengalami “distorsi” memang sudah mulai dilakukan. Reformasi 1998 dan otonomi daerah dalam hal ini menduduki peranan yang strategis. Otonomi daerah di Indonesia dapat dikatakan buah dari reformasi sekaligus salah satu wadah dari reformasi birokrasi. Keberadaan reformasi birokrasi sendiri sudah merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi demi tercapainya apa yang biasa disebut good governance. Arus good governance ini menjadi penting sebagai salah satu aspek reformasi Yang dituntut oleh masyarakat yang memiliki makna mencakup transparansi pengelolaan negara, akuntabilitas terhadap publik dan masyarakat yang partisipatif terhadap kebijakan pemerintah yang merupakan bentuk dari tata kelola pemerintahan yang baik.
Pelaksanaan otonomi daerah idealnya akan mengubah perilaku pemerintah daerah untuk lebih efisien dan profesional. Untuk itu, pemerintah daerah perlu melakukan perekayasaan ulang terhadap birokrasi yang selama ini dijalankan (bureaucracy reengineering). Hal tersebut karena pada saat ini dan di masa yang akan datang pemerintah (pusat dan daerah) akan menghadapi gelombang perubahan baik yang berasal dari tekanan eksternal maupun dari internal masyarakatnya. Dari sisi eksternal, pemerintah akan menghadapi globalisasi yang sarat dengan persaingan dan liberalisme arus informasi, investasi, modal, tenaga kerja, dan budaya. Di sisi internal, pemerintah akan menghadapi masyarakat yang semakin cerdas (knowledge based society) dan masyarakat yang semakin banyak tuntutannya (demanding community).
Kecenderungan peningkatan kecerdasan masyarakat dan banyaknya tuntutan yang mereka serukan akan menjadi pressure bagi pemerintah. Yang ditujukan tentu adanya optimalisasi pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Pelayanan publik yang optimal akan mustahil tercapai tanpa adanya organisasi pemerintah daerah yang bekerja secara profesional dan efisien serta memiliki sumber daya aparatur yang memiliki jiwa kewirausahaan. Ini mutlak dibutuhkan mengingat sumber daya terbatas (dana, personal, peralatan) sementara tuntutan akan out put tetap maksimal. Hal ini juga dimaksudkan sebagai salah satu upaya agar ditengah gelombang tekanan politik (political pressures) domestik maupun luar negeri kesulitan anggaran dan keuangan (fiscal pressures), pemerintah dan pemerintah daerah bisa terhindar dari keterpurukan dan kebangkrutan.
Hal tersebut memang bukan persoalan mudah. Namun, secara teoritik, salah satu prasyarat penting agar birokrasi pemerintah dapat mendinamisasikan dirinya ialah dengan cara mentransfomasikan diri dari birokrasi yang kaku menjadi organisasi pemerintahan yang strukturnya desentralisasi, inovatif, fleksibel dan responsif.
Setelah pelaksanaan otonomi daerah, beberapa pemerintah daerah terbukti telah membentuk sistem birokrasi yang lebih mudah bagi pelayanan publik. Dalam beberapa daerah studi, hal ini menghasilkan rasionalisasi tata kerja, jam kerja dan transparansi yang lebih besar. Penyederhanaan ini khususnya muncul dalam kasus pemberian ijin. Pelayanan ini menjadi lebih mudah dan lebih efisien, dan dilakukan dalam satu atap. Pemerintah pusat juga mendorong Pemkab dan Pemko untuk mengembangkan sistem pelayanan satu atap atau Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) untuk tujuan ini. Se!ain itu, rasionalisasi pada divisi tenaga kerja menghasilkan penyerahan kewenangan dan tanggung jawab administratif yang lebih besar.
Selama beberapa tahun terakhir ini semenjak diberlakukannya otonomi (mulai dari UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah sampai sekarang setelah keluar UU No. 32/2004), kita mulai melihat adanya nuansa baru dalam praktek pemerintahan di daerah yang menangkap bola otonomi melalui program-program inovatif dan terobosan-terobosan baru yang di era orde baru hampir tidak pernah terdengar. Kita dapat mengetahui sejumlah inovasi program yang telah dan sedang dilakukan oleh sejumlah pemerintah daerah. Sebut saja inovasi program yang dilakukan oleh Pemerintah Pemko Banjarnegara melalui Pembenahan Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Banjarnegara dan Tabanan, Pemko Deli Serdang melalui Pembentukan LEPP-M3 (Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina) sebagai upaya Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir serta melalui Pengembangan Kerjasama Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Saluran Irigasi yang Partisipatif. Pemko Gianyar melalui Program Gianyar Sejahtera (PGS) dan Pemko Sumba Timur dengan Pelatihan Aparatur Pemerintahan Desa (Apkasi, 2003 dalam Prasojo, Dkk, 2004:2).
Daerah lain yang juga punya prestasi yang tidak kalah menariknya seperti Sragen. Pemko Sragen beberapa waktu sempat memperoleh penghargaan sebagai daerah dengan iklim investasi terbaik se-Jawa Tengah. Predikat iklim investasi terbaik yang disandang oleh Pemko Sragen tidak lepas dari upaya efisiensi birokrasi, kecepatan, kepastian dan faktor keamanan. Upaya Pemerintah Pemko Sragen untuk menarik investasi di antaranya adalah penyediaan informasi daerah. dan pelayanan one stop sevice (OSS), kemudahan, jaminan keamanan dan dukungan sarana prasarana.
Pemko Kudus belakangan juga menjadi sorotan para Walikota-waIikota. Para Walikota tersebut ingin belajar dari Pemko Kudus. Walikota Kudus dengan pola pelayanan izin satu pintunya mampu mendongkrak investasi di daerahnya hingga mencapai 250%. Oleh karenanya, tidak heran bila Walikota Kudus mendapatkan. “Pemuda Award 2005″, karena prestasinya di bidang ini.
Hal yang sama juga terjadi di Sragen, Walikota Sragen menempuh pola Yang tak kalah inovatif, memberikan pelayanan tanpa dipungut biaya bagi IKM/UKM pemula. Langkah Walikota Sragen. tersebut bukan tanpa tantangan, karena ia harus menghadapi kepentingan banyak lembaga birokrasi yang sudah mendapat kenyamanan karena eksklusivisme dan egosektoralnya selama ini, dan untuk itu perlu keberanian dan komitmen besar untuk menatanya secara terpadu. Dampaknya pun langsung terlihat, karena dengan pelayanan satu pintunya, Walikota Sragen mampu menumbuhkan wirausahawan baru secara sangat signifikan di daerahnya sampai 700% pada Tahun 2004. Dampak ikutannya adalah peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sragen yang signifikan. Maka tak ketinggalan Walikota lain di Jawa Tengah seperti Walikota Wonosobo, Banjarnegara, dan Purbalingga. ikut merevolusi pelayanan publiknya dengan pola yang sama.
Satu lagi daerah yang belakangan ini sering menjadi perbincangan di era otonomi daerah adalah Pemerintah Kota X. Hal ini dikarenakan sejumlah program inovasi yang digulirkan oleh Pemerintah Kota X yang terbukti mampu mengangkat derajat perekonomian dan kehidupan masyarakatnya.
Persoalan yang terjadi selama ini dalam konteks kesejahteraan rakyat adalah kemampuan keuangan atau APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) suatu daerah yang tinggi tidak menjamin terjadinya peningkatan kesejahteraan yang signifikan bagi masyarakatnya. Daerah-daerah yang tergolong “sedang” juga menghadapi problem yang sama., apalagi daerah-daerah yang tergolong” miskin”, yang merasa lebih tidak mampu lagi untuk memberikan pelayanan lebih baik kepada masyarakatnya. Hal yang sering terjadi, anggaran dana yang tersedia setiap tahunnya sebagian besar terserap hanya untuk kebutuhan operasional birokrasi pemerintah daerah. Tidak banyak pemerintah daerah yang dapat memberikan pelayanan optimal terhadap hal yang berhubungan langsung dengan kebutuhan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya dengan alasan tidak tersedianya dana untuk itu. Padahal persoalan yang sesungguhnya bisa jadi bukan pada jumlah dana yang sedikit, tapi bagaimana pengelolaan dana/sumber daya tersebut dapat dilakukan secare efisien.
Efisiensi merupakan hal yang secara normatif memang harus dilaksanakan oleh organisasi manapun. Dari sisi normatifnya pula, efisiensi adalah sesuatu yang mudah diucapkan oleh siapapun tapi tidak mudah untuk dilaksanakan dan tentu bukannya merupakan sesuatu yang bebas kendala. Ini menarik untuk dikaji secara lebih mendalam.
1.2. Permasalahan
Dari pemaparan di atas tampak bahwa otonomi telah membawa angin baru dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Persoalan distorsi birokrasi yang sebenarnya adalah masalah klasik sudah seharusnya segera diselesaikan dengan semangat reformasi birokrasi, diiringi optimisme, inovasi, serta keberanian untuk melakukan perubahan.
Otonomi daerah adalah momen yang tepat. Kewenangan luas yang diberikan kepada daerah memberi kesempatan besar untuk melakukan banyak hal, tentu di tengah berbagai keterbatasan, tantangan dan persoalan yang muncul yang merupakan implikasi dari penerapan otonomi itu sendiri.
Daerah-daerah menghadapi keterbatasan, tantangan dan persoalan tersebut secara berbeda dan menghasilkan sesuatu yang berbeda pula. Sebagian daerah menangkap bola otonomi dengan antusias dan kreativitas tinggi dalam rangka optimalisasi pelayanan publik dan mencapai kesejahteraan rakyat. Salah satu daerah yang layak mendapat apresiasi dalam hal ini adalah Pemerintah Kota X yang telah melakukan banyak hal berupa program-program inovatif dengan keterbatasan yang sama dengan daerah !ain.
Sejauh ini telah diketahui melalui penelitian yang dilakukan sebelumnya (Prasojo dkk, 2004) bahwa kata kunci keberhasilan berbagai program di atas dari sisi pemerintah daerahnya adalah penerapan pola efisiensi birokrasi secara ketat di segala bidang. Mengingat efisiensi adalah sesuatu yang tidak mudah untuk dilaksanakan, maka peneliti tertarik untuk mendalami seperti apa strategi efisiensi yang dilakukan dan apa saja kendalanya. Pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana strategi efisiensi dan pelaksanaannya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota X?
2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat dan pendukung dalam pelaksanaan strategi efisiensi tersebut?
3. Bagaimana peran kebijakan strategi efisiensi terhadap kesejahteraan rakyat di X?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan, ada tiga tujuan yang dicapai dalam penelitian ini, yakni:
1. Menggambarkan strategi efisiensi dan pelaksanaannya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota X sebagai salah satu faktor kunci keberhasilan dalam pelaksanaan program program inovatif.
2. Menggali dan mendiskripsikan faktor-faktor penghambat dan pendukung pelaksanaan strategi efisiensi tersebut.
3. Mengetahui peran strategi efisiensi yang dilakukan terhadap pelayanan publik dan program peningkatan kesejateraan rakyat X.
1.4. Manfaat Penelitian
Sejalan dengan tujuan di atas penelitian ini diharapkan dapat memberi konstribusi pada pengembangan kajian di Bidang Otonomi dan Pemerintahan Lokal yang merupakan objek bahasan utama dalam konsentrasi Otonomi dan Pembangunan Lokal dan juga dalam kajian pembangunan sosial, di mana seperti yang dikatakan Lusk dalam Midgley bahwa birokrasi yang inefisien merupakan salah satu penghalang upaya-upaya pembangunan sosial. Selain itu dalam rangka menambah pengetahuan dan pengalaman penulis dalam penelitian ilmiah di Bidang Pemerintahan Lokal.
PENGEMBANGAN ORGANISASI BIROKRASI PEMERINTAHAN ( Birokrasi pemerintahan yang Responsive, Kompetitif dan Adaptif )
Oleh : Hermanto Rohman

Pendahuluan
            Harapan masyarakat bahwa Keberhasilan pemerintah untuk menyelenggarakan pemilu yang demokratis sebagai proses awal dalam membentuk pemerintahan yang baru, pemerintahan yang akan mampu memerangi KKN dan membentuk pemerintahan yang bersih masih jauh dari realitas. Keinginan masyarakat untuk menikmati pelayanan publik yang efisien, responsive, dan akuntabel masih jauh dari realitas. Pemerintahan yang baru dengan orang-orang yang baru tidak mampu untuk memperbaiki citra kinerja birokrasi publik yang sudah terlanjur buruk bahkan tidak jarang justru perangkat dan lumpur KKN semakin memperburuk birokrasi publik kita. KKN dan rendahnya kualitas pelayanan birokrasi pemerintahan adalah bagian dari rendahnya komitmen pemerintah dalam membenahi sistem birokrasi publik. Reformasi dalam politik yang selama ini lebih diperhatikan dengan tidak diikuti reformasi dalam birokrasi ternyata tidak banyak menghasilkan perbaikan kinerja pelayanan publik. Dengan birokrasi yang masih sangat korup bersikap sebagai penguasa dan tidak professional maka perubahan apapun yang terjadi dalam pemerintahan tidak akan membawa dampak yang berarti dalam perbaikan kinerja, perbaikan pelayanan publik. Karenanya menjadi sangat wajar kalau perbaikan dalam kehidupan politik yang menjadi semakin demokratis sekarang ini belum membawa dampak yang berarti pada kinerja birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik.
Di Indonesia birokrasi sering di Identikkan dengan pegawai negeri yang lamban dan korup. Pelbagai intansi di Indonesia dari tingkat pusat dan daerah menjadi sarang “ premanisme”, pusat “ngobyek”  dan bebas mengatur jam keraja. Satu kasus siang pertengahan pekan Kompas mendatangi Kantor Badan Pertanahan Nasional di Bogor saat masih jam kerja pukul 14.30 tetapi sejumlah loket pelayanan seperti bagian informasi sudah kosong ditinggalkan petugas (Kompas, 26 maret 2005 ). Kondisi  ini juga tidak jarang bisa dilihat dikantor-kantor instansi dinas di daerah-daerah  dan ini  merupakan fenomena lumrah dalam melihat “wajah” birokrasi pemerintahan di Indonesia. Belum lagi image pelayanan publik di tingkatan prosedur / aturan yang memakan waktu dan biaya yang mahal. Di  Indonesia untuk mendirikan usaha biaya administrasi 130,7 % dari pendapatan perkapita penduduk dengan prosedur waktunya 151 hari ( kompas, 26 Maret 2005 ). Hal ini sangat kontras sekali dengan negara maju bila prosedur normalnya adalah memakan waktu rata-rata 27 hari dan biaya sekitar 8 % dari pendapatan perkapita penduduk. Kondisi ini juga terjadi ketika pengurusan KTP,HO, paspor, akta catatan sipil dan berbagai pelayanan perijinan lainnya, yang juga membutuhkan prosedur yang panjang dan biaya ( bureaucratic cost ) yang mahal. Belum lagi ini akan dijamin tepat waktu sesuai yang dijanjikan oleh aturan, dalam keadaan ini akan dimanfaatkan terjadinya KKN dimana masyrakat diharuskan membayar lebih mahal dari biaya yang ditetapkan bila ingin mendapat fasilitas ketepatan dan kecepatan dalam pelayanan. Sehingga sering kita dengar muncul bahasa dalam birokrasi kita          “ kalau sebuah urusan bisa dipersulit kenapa harus dipermudah “ atau sebaliknya “ kenapa dipersulit kalau memang bisa dipermudah….. dan mau dibantu !! “ , “ semua bisa beres asal tahu sama tahu “. Meluasnya praktik-praktik  semacam ini dalam birokrasi publik semakin mencoreng image masyarakat terhadap birokrasi.                
            Dalam melihat birokrasi di Indonesia mentalitas birokrat yang dilumuri KKN rupanya masih melekat dimata publik setiap kali berhadapan dengan aparat birokrasi dan cara kerja mereka. Anggapan negatif ini menemukan aktualisasinya pada ketidak efektifan dan ketidakefisien mereka dalam melayani masyrakat. Sejak reformasi bergulirdi lapangan politik, sampai saat ini belum tampak semangat memasuki wilayah birokrasi. Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan oleh kompas pada 16-17 Maret 2005 dan berbagai jajak pendapat yang dilakukan secara berkala dalam lima tahun terakhir. Penilaian 62 persen responden yang menyatakan aparat pemerintah belum terbebas dari KKN setiap kali menjalankan kerjanya merupakan cermin kegagalan birokrasi. Hanya 15 persen responden yang menilai aparatur pemerintah  sudah terbebas dari praktik KKN. . Tiga hal yang dirasakan masyrakat setiap berhadapan dengan birokrasi :
  •  Waktu relatif lama hampir 50 % responden mengatakan kerja aparat pemerintah lambat. Sebanyak 43 % berpendapat lain, tidak semua lembaga pemerintah sengaja memperlama proses penyelesaian urusan atau persoalan rakyat. Inilah yang diperlihatkan pemerintah Kabupaten Sragen , dengan layanan professional yang diterapkan melalui Kantor Pelayanan Terpadu yang mewadahi 17 layanan perijinan dan 10 layanan non perijinanan dalam satu pintu ( kompas, 23 februari 2005 ).
  •  Prosedur yang berbelit-belit, sekitar 45 % responden menyatakan prosedur yang mereka tempuh setiap berurusan dengan aparatur pemerintah cukup ringkas. Sebaliknya, hampir separuh responden menyatakan masih berbelit-belit, khususnya mengenai perijinan untuk berusaha. Di Jakarta untuk mendapatkan dan menyelesaikan proyek seorang pengusaha harus melalui sekitar 50 meja.
  • Ongkos-ongkos atau biaya yang mesti dikeluarkan masyarkat setiap berurusan dengan aparatur pemerintah selama ini. Sebanyak 46 %  responden menilai besarnya ongkos yang dikeluarkan untuk mendapatkan pelayanan dari aparat pemerintahan.                    
Dalam mengawali pengkajian tentang birokrasi di Indonesia,perlu terlebih dahulu dikedepankan sedikit pokok persoalan menurut Weber. Semula Max Weber berpendapat bahwa untuk mencapai tujuannya, organisasi harus memiliki struktur ideal yang disebutkan dalam birokrasi , sebagaimana yang disampaikan oleh Robbins dan Gary Dessler dalam  Organization Theory ( 1992). Dalam perjalanan sejarah ternyata struktur birokrasi model Weber tidak cocok karena terlalu “ Centralizede decision Making “,” impersonal submission to authority “ dan “narrow division of Labor “,semua harus diganti dengan “decentralized and democratic structures organized around flexible groups “,    untuk itu  Robbins mengatakan “ the death of bureaucracy “. Kritik terhadap birokrasi “ideal” menurut Weber ini dibahas dalam berbagai sumber tentang teori organisasi. Tuduhan negatif terhadap birokrasi sepanjang zaman,gencar sekali sampai-sampai birokrasi dianggap sebagai penyakit : “ red tape”(prosedur  birokrasi yang bertele-tele cenderung memakan waktu yang lama dan biaya yang mahal ), “Inefisiensi “,  “ bureaupathology “ , “beureumanis”. Namun demikian, seperti dekemukakan dipihak lain birokrasi itu tidak akan terelakkan, ibarat pepatah: “ benci tapi sayang “ dibenci oleh masyarakat tapi disayang oleh penguasa.
            Berbagai upaya untuk menciptakan organisasi publik yang lebih sesuai dengan tuntutan masyarakt telah dilakukan dengan berbagai resep misalnya redesigning ,reengineering, debirokratisasi, perampingan, reformasi, banishing dan sebagainya. Hal itu muncul seiring dengan perkembangan jaman dan harapan akan pelayanan oleh organisasi publik ( birokrasi ), lebih mengarah pemberian layanan publik yang lebih professional, efektif, effisien, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsive dan adaptif. Untuk mencapai agar organisasi mampu mengikuti perkembangan masyarakat , mampu tetap hidup dan berdaya guna bagi masyarakat maka organisasi harus senantiasa melakukan pengembangan organisasi ( organization Development ) kearah yang “kompetitif, adaptif dan responsive “( Widodo, 2001 : 76 ). Untuk itu perlu reformasi kelembagaan dan administrasi dalam pelayanan kepada publik, dan reformasi kelembagaan dan administrasi berarti melakukan pembangunan atau pengembangan organisasi ( organization development ).

Ruang Lingkup dan Batasan masalah
               Setiap penulisan  membutuhkan ruang lingkup materi pembahasan untuk memberikan batasan terhadap luasnya sebuah persoalan. Batasan ruang lingkup tulisan ini pada pembahasan tentang pengembangan organisasi birokrasi. Organisasi birokrasi yang dimaksud adalah oraganisasi birokrasi pemerintahan. Dimana birokrasi pemerintahan yang harus mampu untuk menyesuaikan dengan tuntutan dan perkembangan yang ada dari masayarakat. Untuk itu tulisan ini bertolak pada pendapat-pendapat sebagai berikut :
1.      “ Pemerintahan pada hakikatnya adalah pelayanan pada masyarakat, ia tidaklah diadakan untuk melayani diri sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuannya dan kreativitasnya demi mencapai tujuan  bersama “ (Rasyid ( 1998 : 139 )
2.      Untuk mencapai agar organisasi mampu mengikuti perkembangan masyarakat , mampu tetap hidup dan berdaya guna bagi masyarakat maka organisasi harus senantiasa melakukan pengembangan organisasi ( organization Development ) kearah yang “kompetitif, adaptif dan responsive “( Widodo, 2001 : 76 ).
Dari pendapat tersebut formulasi-formulasi sebagai pattern yang berkembang saat ini yang akan di gambarkan tulisan ini sebagai kerangka untuk menjawab persoalan diatas adalah
1.      Intellegent organization sebagaimana uraian Gifford Pinchot dan Elizabet Pinchot dalam bukunya The end of Bureucracy and the Rise of Intellegent Organization ( 1993 ) yang menguraikan timbul tenggelamnya birokrasi dan memberikan tujuh inti organisasi cerdas.
2.      Learning Organization sebagai tindak lanjut dari “organisasi yang cerdas”. Dimana melalui learning organization dapat menumbuhkan komitmen dalam individu atau kelompok dalam oragisasi birokrasi sehingga mampu menciptakan produk pelayanan yang inovatif sesuai dengan tuntutan masyarakat.
3.      Good Governance sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang tidak semata-mata didasarkan pada pemerintah ( government) atau negara (state) tapi harus melibatkan seluruh elemen baik intern birokrasi maupun di luar birokrasi publik ( masyarakat ).
Penjelasan tentang konsep diatas yang diharapkan mampu melengkapi dan menjadi landasan  pemahaman dalam menjelaskan masalah yang akan diangkat dari tulisan ini.

Rumusan Masalah
Rumusan masalah adalah aspek yang harus ada dalam tulisan, berdasarkan realitas yang muncul dalam latar belakang tulisan ini dan batasan masalah diatas maka rumusan masalah  yang hendak dijawab adalah :
Bagaimana pengembangan organisasi birokrasi  kearah yang “kompetitif, adaptif dan responsive untuk mampu mengikuti perkembangan masyarakat , mampu tetap hidup dan berdaya guna bagi masyarakat

Pengertian Birokrasi Pemerintahan
Berbagai sumber berpendapat, setidak-tidaknya ada tiga macam arti birokrasi. Pertama birokrasi diartikan sebagai “government by Bureus” yaitu pemerintahan biro oleh aparat yang diangkat oleh pemegang kekuasaan, pemerintah atau atasan dalam organisasi formal baik publik maupun privat ( Rigss,1971 : 377 ); jadi pemerintahan yang birokratik adalah pemerintahan tanpa partisipasi pihak yang diperintah ( Rigss mengutip Michel Crozier dalam Riggs, ed, 1971: 375 ). Kedua, birokrasi diartikan sebagai sifat atau perilaku pemerintahan, yaitu sifat kaku, bertele-tele,dan tuduhan yang negatif terhadap instansi yang berkuasa ( Kramer,1977 : 34 ), singkatnya birokrasi sebagai Bureu-phatology ( Rigss, 1971 : 376 ). Birokrasi dalam arti ini banyak ditulis oleh Pinchot dan Pinchot (1993 ), Arif Budiman ( 1988), Siagian (1994 ), dan ada juga yang menganjurkan Reformasi Birokrasi  Agus Dwiyanto, 2002), bahkan ada yang ingin memangkasnya (banishing) ( Osborn dan Plastrik e.d Indonesia 2002 ). Ketiga, Birokrasi sebagai tipe ideal organisasi, dimulai dari teori Max Weber tentang konsep sosiologik rasionalisasi aktivitas kolektiv ( Gibson, Ivanicevic dan Donnelly, 1974 : 73 ).
Birokrasi Weber memusatkan perhatiannya pada “consequences of Bureucratic organization for the achievement of bureaucratic goals ( primarily the goals of a political authority) “. Ada dua macam konsekuensi yang dapat diantisipasi dan yang tidak, keduanya dipengaruhi oleh dua kekuatan : Pertama, karakteristik birokrasi; Kedua, karakteristik manusianya / pejabat birokrasi. Weber mencontohkan birokrasi dimiliter yang lingkungannya dibentuk seperti mesin, yang pada gilirannya mengontrol kedua macam konsekuensi itu. Untuk itu birokrasi kadang terlihat kondusif tetapi pada saat lain represif. Berbeda dengan birokrasi model Merton yang berawal pada “a demand for control made on the organization by the top hierarchy”. Dimana segenap warga dalam organisasi dapat dipercaya( emphasis on reliability ), untuk itu perilaku nereka harus diatur setiap tindakan harus dipertahankan ( defensibility of individual action ). Hal –hal ini akan memunculkan akibat yang dikehendaki (intended results ), seperti keteraturan dan ketaatan, kedisiplinan. Tetapi juga timbul akibat yang tidak diharapkan ( unintended ) misalnya perilaku organisasi yang kaku, terbatas ( rigid ), dan sulit berubah. Hal itu muncul karena kontrol yang ketat dan kewajiban untuk mempertahankan kedudukan organisasi        ( organisasi defense of  status ). Perilaku ini pada gilirannya mempengaruhi hubungan pada klien atau konsumer ( amount of difficulty with clients ), sehingga birokrasi dikatakan kaku dan menyulitkan.
Jika  Merton dengan penekanan pada aturan sebagai alat kontrol maka Selznick memberi tekanan pada pada delegasi kewenangan ( delegation of authority ). Pendelegasaian kewenangan ini akan menimbulkan dualisme kepentingan yaitu kepentingan organisasi versus kepentingan sub unit yang bersangkutan. Model Gouldner sama seperti model Merton, bermula pada tuntutan akan kontrol pucuk pimpinan atas seluruh organisasi. Aturan-aturan umum menjadi kontrol dan dasar hubungan kekuasaan antar sub units. Hal ini pada gilirannya akan mempengaruhi keteganagan interpersonal dalam organisasi ( level of interpersonal tension ).
Proses organisasional dalam model birokrasi diatas akan mempengaruhi kemampuan birokrasi dalam mencapai tujuannya, terutama dalam memproduksi tuntutan masyarakat. Kemampuan birokrasi akan ditandai dengan kemampuan pengaruh mempengaruhi antara birokrasi dan lingkungannya. Derajat Kemampuan birokrasi untuk mengontrol lingkungannya inilah akan mennjukkan rationality birokrasi ( bureucratism ), sedangkan derajat ketidak berdayaan dalam mengontrol perkembangan lingkungan menunjukkan pathology birokrasi ( Bureaunomia ), (Rigss, 1971 ,382 ).
Birokrasi Publik ( public bureaucracy ) merupakan birokrasi dalam organisasi formal yang memproses public goods. Sedangkan Birokrasi Pemerintahan didefinisikan sebagai struktur pemerintahan yang berfungsi memproduksi jasa-publik dan layanan- civil tertentu berdasarkan kebijakan yang ditetapkan dengan mempertimbangkan berbagai pilihan lingkungan. Pemerintah selaku Provider harus mengantar dan menyerahkan produk itu sampai ditangan(hati) konsumer pada saat dibutuhkan. Supaya harapan itu menjadi kenyataan konsumer harus disiapkan dan diberdayakan. Agar birokrasi mampu mampu memberdayakan konsumer produk-produk pemerintahan sehingga konsumer mampu mendapat sebesar-besarnya maka pemerintahan harus mampu menjadi responsiveness birokrasi. Kemampuan birokrasi ini akan ditandai dengan kemampuan pengaruh mempengaruhi antara birokrasi dan lingkungannya ( konsumer ). Sehingga birokrasi bukan sebagai pathology karena ketidak berdayaannya dalam mengontrol perkembangan lingkungan.

Intellegent Organization
     Konsep organisasi cerdas atau intellegent organization merupakan reaksi terhadap derajat ketidak berdayaan birokrasi dalam mengontrol perkembangan lingkungan yang menjadikan pathology birokrasi ( bureaunomia ) yang menggejala jauh kedalam struktur, manajemen dan budaya organisasi selama ini dan juga sebagai jawaban akan tuntutan pembaharuan birokrasi sebagai pelayan publik di masa depan. Setelah menguraikan timbul tenggelamnya birokrasi dalam The end of bureucracy and the Rise of the Intellegent Organization ( 1993 ), Gifford Pinchot dan Elizabeth Pinchot dalam buku yang sama menjelaskan tujuh inti organisasi cerdas:
  • Freedom of choice ( kebebasan memilih ) merupakan kondisi untuk membangun rasa tanggung jawab dan self–commitment setiap orang. Ada tiga hal yang melandasi kondisi tersebut :
1.      Widerspread truth and rights, dalam organisasi setiap orang memperoleh informasi yang benar, cepat, dan akurat dan setiap orang menyadari akan hak-haknya dan berkesempatan untuk memperjuangkannya.
2.      Freedom of interprise, setiap orang bekerja sesuai dengan pengetahuan, keahlian dan ketrampilannya guna memenuhi harapan konsumer.
3.      Liberated (empowered) teams, Bekerja sebagai tim artinya bahwa sebuah tim terdapat anggapan bahwa tidak ada manusia yang sempurna setiap orang ada kelebihan dan kekurangan dan masing-masing individu dalam tim akan salaing menutupi
  • Responsibility for the whole ( tanggung jawab untuk keseluruhan ) adalah kondisi yang diperlukan guna membangun hubungan kerjasama produktif antara warga organisasi dengan masyrakat lingkungan. Ada tiga hal yang melandasi kondisi tersebut :
4.      equality and diversity ( kebersamaan dan perbedaan ), kesempatan yang sama bagi semua orang dan penghargaan terhadap perbedaan.
5.      Voluntary learning networks yaitu jaringan –belajar secara sukarela secara menyeluruh, guna meningkatkan kecerdasan setiap warga organisasi dengan demikian setiap orang mampu memberikan sumbangan sebesar-besarnya kepada masyarakat. Masyarakat yang cerdas adalah masyrakat yang mampu berpikir panjang sadar akan akibat setiap tindakannya dan mengapa ia berbuat demikian.
6.      Democratic self-rule artinya organisasi harus tersusun dan belajar secar demokratik.
  • Kendatipun organisasi cerdas mengandalkan kekuatan intelegensia manusia, kedua landasan diatas memerlukan ambang yang menguatkan yaitu, (7) limited corporate government. Yang berarti elemen kekuasaan bagaimanapun tetap diperlukan oleh setiap organisasi, guna menegakkan setiap aturan main yang telah disepakati bersama. Disebut “limited” karena kekuasaan itu hanya diperlukan sebagai alat bukan tujuan.
            Dalam organisasi yang cerdas nilai tertinggi yang mengikat dan menggerakkan organisasi bukanlah ketaatan dan kepatuhan bawahan terhadap atasan tetapi adalah mutual trust. Secara singkat organisasi cerdas adalah organisasi yang mampu berperan dalam situasi dan kondisi bagaimanapun, disatu pihak dan siap menjalankan perubahan terus menerus. Sama seperti manusia organisasi menjadi cerdas maka organisasi harus belajar, dan dari sinilah lahir konsep Learning organizations.

Learning Organization
                  Iklim yang kompetitif dan akselerasi perubahan lingkungan yang semakin tinggi menuntut organisasi birokrasi untuk mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan lingkungan agar mampu bertahan dan mapu untuk berkompetitif. Salah satu cara untuk mencapai kondisi tersebut adalah melakukan transformasi organisasi menuju Learning organization. Garvin ( 1993 ) memandang learning organization sebagai pengorganisasian kreativitas, kecakapan dan transfer knowledge sehingga mampu memperbaiki perilaku dan menemukan knowledge yang baru. Learning organization dapat dilihat sebagai pemberdayaan individu atau kelompok dalam organisasi sehingga mampu menciptakan produk dan jaringan kerja yang inovatif baik dari dalam dan diluar organisasi.
            Hal ini menjadi penting karena organisasi dituntut untuk bisa melakukan perubahan ditengah persaingan yang semakin global, Esperjo dkk ( 1996 ) mengatakan “the competitive landscape is changing, and the new models of competitivness are needed to deal with the chalenges a head” . Pernyataan ini menunjukkan bahwa organisasi dituntut untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan sehingga organisasi mampu memberikan kualitas produk dan jasa kepada pelanggannya mengingat kompetisi yang makin meningkat. Berdasar hal tersebut maka pengembangan dan perubahan organisasi merupakan kebutuhan yang nyata dari organisasi. Menurut Gibson ( 1994 ) prinsip pembelajaran dalam konteks pengembangan organisasi memiliki tiga tahap :
Pertama,unfreezing old learning. Membutuhkan orang yang ingin mempelajari cara baru untuk bertindak dengan kata lain pola lama dicairkan dulu. Artinya pendapat lama, paradigma lama dan orang-orang yang masih bersikukuh didalamnya harus mapu untuk dirubah.Kedua, Movement to new learning. Pergerakan ke pembelajaran baru dimana membutuhkan pelatihan, demontrasi, dan pemberdayaan ( empowerment ). Ketiga Refreezing the learned behavior. Pembekuan kembali perilaku yang telah dipelajari terjadi melalui penerapan penguatan dan umpan balik. Dua prinsip ini menyarankan agar pola baru yang teradaptasi oleh lingkungan intern maupun ekstern organisasi.
            Ketiga tahapan ini akan terus berubah karena perubahan terus terjadi ( change,change and change again ). Dengan kata lain organisasi membutuhkan transformasi secara terus menerus ntuk menciptakan dan mempertahankan perubahan. Organisasi dalam menghadapi perubahan maka organisasi membutuhkan transformasi secara fundamental agar bisa survive. Organisasi harus inovatif dan kreatif serta fleksible dalam menghadapi perubahan. Transformasi organisasi yang diperlukan antara lain berupa ( Guillart and Kelly , 1995):
1.      Pendekatan Reframing dalam organisasi.
 Pendekatan reframing organisasi diperlukan untuk menggeser konsep dasar bagaimana organisasi bisa mencapai tujuannya. Dimensi reframing terdiri dari tiga unsure seperti :
1.      Mencapai mobilisasi ( achive mobilization ), merupakan usaha-usaha untuk menumbuhkan komitmen mulai dari tingkat individu, tim dan organssasi secara keseluruhan.
2.      Menciptakan Visi ( create vision ) . Menciptakan visi organisasi akan mempersiapkan arah organisasi kemasa depan, sedangkan mobilisasi berusaha menciptakan segala potensi untuk pencapaian visi organisasi.
3.      Membangun system pengukuran ( build a measurement System ). Merupakan langkah yang yang perlu dilakukan oleh pemimipin dengan menerjemahkan visi kedalam seperangkat ukuran-ukuran dan mendefinisikan tindakan-tindakan untuk mencapai target yang ditetapkan . System pengukuran ini mencakup aspek manajemen kinerja di dalam suatu organisasi.

2.      Pendekatan Strategy Restrukturisasi
Pendekatan Restrukturisasi berkaitan dengan bentuk organisasi dan tingkat kompetisi yang akan dicapai organisasi. Bentuk Organisasi yang ramping, datar dan sesuai dengan kebutuhan organisasi merupakan pertimbangan yang utama dalam melakukan restrukturisasi. Restrukturisasi merupakan domain dimana pengurangan jumlah pegawai yang makin meningkat dan kesulitan budaya yang makin besar. Kadang-kadang pemberhentian dan kegelisahan pegawai merupakan efek yang tidak bisa dihindarkan dalam proses restrukturisasi. Dalam pendekatan restrukturisasi ada 3 unsur yang meliputi :
  • Membangun model ekonomi, dimana memberikan pandangan pada organisasi bagaimana suatu nilai diciptakan batau dihilangkan dalam organisasi.
  • Mengintegrasikan infrastruktur fisik, dimana ini menjadi salah satu ukuran penting terhadap arah dan strategy suatu organisasi.
  • Mendesain kembali arsitektur pekerjaan
3.      Pendekatan Sistem revitalisasi organisasi
Sistem revitalisasi merupakan usaha untuk mendorong pertumbuhan dengan mengaitkan keseluruhan organisasi dengan lingkungannya. Setiap orang dalam organisasi itu ingin berkembang tetapi sumber perkembangan dan pertumbuhan itu sulit dipahami. Sistem revitalisasi terdiri atas tiga komponen :
  • Achieve market focus, strategy memfokuskan pada pasar merupakan usaha untuk menghubungkan pola piker organisasi secara keseluruhan pada lingkungannya. Sisterm revitalisasi memusatkan pada kepentingan pelanggan ( konsumer ) sehingga membawa pertumbuhan organisasi.
  • Invent new business, strategy menemukan bisnis baru, merupakan strategy untuk membangun kemampuan organisasi melalui pendekatan kemitraan, merger dan akuisisi dan melalui strategy ini diharapkan membawa vkefidupan baru bagi organisasi.
  • Change the rules through information technology, pendekatan merubah aturan melalui tehnology informasi. Merupakan usaha memanfaatkan teknologi sebagai dasar untuk mencapai jalan baru dalam menghadapi kompetisi. Melalui teknologi dapat menghubungkan berbagai unit organisasi sehingga dapat mengintegrasikan informasi dan proses pengambilan keputusan. Tehnology dapat meningkatkan efisiensi dan arus informasi dari lingkungan organisasi.
4.      Strategy Sistem Pembaharuan ( Renewal System )
Strategy pembaharuan organisasi meliputi investasi SDM sehingga SDM mempunyai keahlian dan kemampuan baru untuk tercapainya tujuan organisasi. Strategi pembaharuan merupakan kekuatan yang penting dalam dimensi transformasi organisasi. Di dalam strategi system pembaharuan ada 3 komponen yang meliputi :
  • Menciptakan struktur reward ( create a reward structure ), strategi ini merupakan unsure memotivasi manusia, reward system sangat penting bagi usaha untuk menciptakan semangat kerja produktivitas dan kinerja organisasi secar keseluruhan , artinya apabila reward system tidak sejalan dengan sasaran organisasi maka system tersebut tidak akan produktif terhadap usaha untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas organisasi.
  • Membangun individu yang belajar ( build individual learning ). Suatu organisasi harus mempunyai komitmen untuk mengembangkan individu dalam meningkatkan keahlian, kemampuan dan ketrampilan melalui berbagai proses belajar.
  • Pengembangan organisasi ( develop the organization ).
 Good governance
Paradigma penyelenggaraan pemerintahan telah terjadi pergeseran dari paradigma “ rule government “ menjadi  “ good governance “. Pemerintah dalam menyelengagarakan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik ( public services )menurut “rule government” senantiasa lebih menyandarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku berbeda dengan paradigma good governance dalam penyelenggaraan pembangunan dan pelayanan publik tidak semata-mata didasarkan pada pemerintah ( government ) atau negara ( state ) saja, tapi harus melibatkan seluruh elemen, baik di dalam intern birokrasi maupun diluar birokrasi publik ( masyarakat ).
Sebagaimana ditegaskan oleh LAN ( 2000 : 1 ) bahwa governance adalah proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public goods and services. Praktek terbaik disebut good governance. Good dalam good governance menurut LAN ( 2000 : 6) mengandung dua pengertian yaitu Pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat yang dalam pencapaian tujuan nasional, kemandirian, dan pembangunan berkelanjutan dan keadilan social. Kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Berdasarkan pengertian ini LAN kemudian mengemukakan bahwa good governance berorientasi pada, yaitu * pertama orientasi ideal negara yang diarahkan pencapai tujuan nasional; Kedua, pemerintahan yang berfungsi ideal yaitu secara efektif, efisien dalam upaya mencapai tujuan nasional. Orientasi pertama menuju demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituennya seperti: Legitimacy ( apakah pemerintahan dipilihdan mendapat kepercayaan rakyatnya ), accountability ( akuntabilitas ), scuring of human right, autonomy and devolution of power, assurance of civilian control. Sedangkan orientasi kedua tergantung pada sejauh mana pemerintah mempunyai kompetensi, dan sejauhmana struktur serta mekanisme politik dan administrative berfunsi secara efektifdanefisien.
Berdasarkan uraian tersebut wujud good governance menurut LAN ( 2000 : 8 ) adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efektif dan efisien dengan menjaga kesinergisan interaksi yang kontruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta, dan masyrakat ( society ). Workshop UNDP menyimpulkan “ that good governance system are participatory, impliying that all members of governance institutions have a voice in influencing decision making “ ( UNDP, 1997 : 19 ). Sistem kepemerintahan yang baik adalah partisipasi yang menyatakan bahwa semua anggota institusi governance memiliki suara dalam mempengaruhi pembuatan keputusan. UNDP dalam paper pertamanya mengidentikkan karakteristik system kepemerintahan yang baik ( the characteristics of good system of governance ) yaitu : “ legitimacy, freedom of associacion and participation and freedom of the media, fair and established legal frameworks that areenforced impartially, bureaucratic accountability and transparency, freely available and valid information, effective and efficien public sector management, and cooperation between governments civil society organizations “ ( 1997 : 19 ).
Namun dalam perkembangan berikutnya. UNDP sebagaimana yang dikutip oleh LAN ( 2000 : 7 ), mengajukan karakteristik good governance sebagai berikut :
  • Participation, artinya setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun melalui intermediasi intitusi legitimasi yang mewakili kepentingannya.
  •  Rule of law, Kerangka hokum yang harus adil dan tanpa pandang bulu terutama hokum untuk HAM
  • Transparency, proses transparansi yang dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses-proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung harus dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus bisa dipahami dan dimonitor.
  •  Responsivness. Lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba untuk melayani setiap “stakeholders “.
  •  Consensus orientation. Good governance sebagai perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan-pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam kebijakan maupun prosedur.
  •  Equity. Semua warga negar baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.
  •  Effectiveness and efficiency. Proses-proses  dan lembaga-lembaga sebaik mungkin  menghasilkan sesuai dengan apa yang digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia.
  • Accountabilty. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sector swasta dan masyarakat bertanggung jawab kepada publik dan lembaga-lembaga “stakeholders”. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
  • Strategic Vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh kedepan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan.                           

Birokrasi pemerintahan yang Responsive, Kompetitif dan Adaptif
Organisasi publik di era sekarang ini harus mampu dan dapat bekerja secara efisien, efektif ,kompetitif responsive dan adaptif. Icklis ( 1981 ) dalam Rondinelly ( 1990 ) menegaskan bahwa dalam organisasi birokrasi pembangunn yang berusaha untuk menjadi kompetitif, responsive dan adaptif tujuan utama harus tertuju pada upaya untuk mendorong semangat kerja sendiri diantara kliennya atau masyrakat yang berhubungan  dan Disamping itu organisasi publik harus punya struktur   Berdasarkan pendapat Thomas dan Brinkerhoff ( 1977 ) organisasi birokrasi yang responsive adalah adanya delegasi tugas-tugas terstruktur pada unit-unit organisasi yang lebih kecil. Karena dengan delegasi ini memungkinkan otoritas kebijaksanaan,inisiatif dan ide-ide inovatif untuk mengikuti barus dari dalam dan dan keluar maupun dari atas kebawah.
Sementara itu Burn dan Stocker ( 1961 ) menegaskan bahwa organisasi birokrasi yang responsive struktur organisasinya membutuhkan:
1.      Memecahkan dan menjabarkan aktivitas organisasi ke sub unit-unit yang berorientasi pada tugas
2.      Menyesuaikan dan merumuskan kembali tugas berdasarkan interaksi pad para anggota birokrasi bukan didefinisikan secara kaku oleh pimpinan
3.      Mendorong setiap individu menerima tanggung jawab dan komitmen yang lebih luas dan bukan hanya terbatas pada tugas-tugas fungsinalnya saja
4.      Menciptakan pengambilan keputusan yang bersifat kolegial dan didasarkan interaksi bukan kontrol otoritas hirarki yang kaku.
5.      Menciptakan komunikasi yang bersifat lateral diantara orang-orang dengan jenjang yang berbeda bukan mengandalkan pad intruksi yang vertikal.
6.      Mendorong pembuatan keputusan yang didasarkan kepada pertukaran informasi dan nasehat bukan pada proses interuksi komando
7.      Menciptakan lingkungan dimana komitmen para staf tertuju pada pencapaian tugas dan pemenuhan tanggung jawabnsecara efektif dan responsive bukan menyatukan loyalitas dan kepatuhan pada pemimipin
8.      Menyediakan hadiah bagi prestise yang melekat pada pencapaian dan keahlian anggota staf dalam lingkungan yang lebih luas bukan bukan bagi pencapaian didalam organisasi birokrasi itu sendiri.
9.      Meningkatkan partisipasi staf dank lien didalam keputusan tentang perubahan di dalam misi-misi, tujuan dan fungsi organisasi birokrasi
Untuk menuju atau menciptakan birokrasi yang responsif, kompetitif , dan adaptif dalam memberikan pelayanan public maka organisasi birokrasi harus :
1.      Strukturnya dan proses birokrasinya harus jelas tegas dan fleksibel
2.      Para birokrat harus mengetahui apa yang menjadi tujuan birokrasi
3.      Para birokrat punya kejelian dan kemampuan dalam mengenali dan mengidentifikasi masalah dan kebutuhan masyarakat
4.      Para birokrat harus membuka kesempatan yang seluas-luasnya pada warga masyarakat untuk berkonsultasi
5.      Para birokrat harus mampu berani mengambil keputusan sesuai dengan kompetensi mereka.
6.      Para birokrat harus senantiasa mendorong dan mengajak partisipasi aktif warga masyarakat untuk ikut serta dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan secara terpadu.
Disamping itu organisasi birokrasi pemerintahan harus berkualitas. Kualitas birokrasi pemerintahan yang diharapkan menurut Taufik ( 1999: 86-87 ) adalah :
1.      Birokrasi pemerintahan yang bersih dan berwibawa baik ditingkat pusat maupun daerah.
2.      Profesionalisme Birokrasi yang memadai dan dapat secaracepat dan tepat tanggap terhadap permasalahn yang dihadapi
3.      Reformasi birokrasi [emerintahan dapa difokuskan pada kualitas dan kecepatan pelayanan terhadap masyrakat
4.      Kerjasama team yang efektif dan efisien antar departemen baik antar sektoral atau yang bukan.
5.      Kemampuan manajemen dalam setiap unit birokrasi pemerintahan yang dapat mengatasi masalah pembangunan yang dihadapi
6.      Birokrasi yang memihak pada kepentingan rakyat banya sesuai dengan visi dan misi yang telah disetujui bersama.
7.      Di bidang hubungan luar negeri kualitas personalia para perwakilan RI di luar negeri terasa perlu di tingkatkan khususnya kemampuan melobi dan sebagainya.
Organisasi birokrasi pemerintahan sebagaimana disebutkan diatas perlu didukung managemen pemerintahan daerah yang kondusif responsive dan adaptif. Beberapa aspek manajemen organisasi yang perlu ditingkatkan dan mendapat perhatian menurut Taufik ( 1999 ; 89 ) adalah sebagai berikut :
1.      Prosedur Operasional dan dtandarisasi yang lengkap dan jelas dan tegas sehingga mudah dilaksanakan dan dapat menjadi SOP ( Standard Operasional Procedures ). Dan prosedur ini harus sesederhana dan disesuaikan dengan keadaan lapangan.
2.      Pendelegasian kekuasaan serta kordinasi yang jelas, tegas dan mudah dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten didukung system control yang kuat tampa pandang bulu
3.      Efektifitas jumlah birokrasi harus dianalisis agar mendapatkan hasil yang optimum. Perampingan birokrasi baik structural maupun fungsional perlu dipelajari sesuai dengan perkembangan kebutuhan . Birokrasi yang bersifat akomodatif bagi penciptaan lapangan kerja sulit dapat ditoleransi. Sebaliknya justru sector swasta dapat dikembangkan untuk menampung tenaga kerja.
4.      Pendidikan dan Pelatihan birokrasi yang terus menerus diperlukan untuk meningkatkan wawasan ketrampilan dan manajerial.
5.      Pada saat birokrasi pemerintahan menjadi factor penting dalam system ekonomi nasional Indonesia, terutama menyangkut daya saing nasional. Oleh karena itu menyangkut kewirausahaan birokrasi menjadi sangat penting.
Pengembangan  dan manajemen organisasi birokrasi pemerintahan sebagaimana disebutkan diatas kiranya disamping akan dapat mencapai apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan otonomi daerah yang luas nyata dan bertanggung dawab juga akan dapat mewujudkan pemerintahan yang baik ( good governance ).
Proses pengembangan organisasi diatas didasarkan pada kriteria yang diserap dari kemampuan organisasi untuk menjadi cerdas ( intelligent organization ) dan bertransformasi menjadi learning organization. Salah satu bentuk konkrit pengembangan organisasi birokrasi adalah tawaran David Osborne dalam “ reinventing Government “. Osborne menawarkan menawarkan wirausaha dalam birokrasi yang harus dijalankan dengan logika wirausaha. Menurut Osborne terdapat sepuluh prinsip dalam penanatan ulang birokrasi :
1.      Perlunya pemerintahan yang katalistik yang lebih mengutamakan pemberian pengarahan dari pada pemberian pelayanan. Intinya bahwa jasa pelayanan public sebaiknya diproduksi dan disediakan oleh lembaga non publik, sementara peran pemerintah sebagai perumus kebijaksanaan dan pengrahan.
2.      Perlunya pemerintahan yang dimiliki oleh masyarakat, yang mengutamakan pemberdayaan ketimbangmg pemberian pelayanan masyarakat. Intinya bahwa masyarakat harus diberdayakan sehingga dapat memecahakan masalahnya sendiri dan mengurangi sebanyak mungkin ketergantungan masyarkat terhadap pemerintah.
3.      Perlunya pemerintahan yang kompetitif dengan menyuntikkan semangat persaingan dalam pemberian pelayanan. Intinya adalah monopoli pemberian pelayanan oleh pemerintah harus diakhiri, harus ada pemberian pelayanan lain non pemerintah ( swasta ). Sehingga dengan demikian pemerintah harus mampu bersaing dengan swasta dan ini akan menciptakan efisiensi produktivitas, kreativitas, inovasi dan mutu pelayanan.
4.      Perlunya pemerintah yang didorong oleh misi. Pemerintah dituntut untuk merumuskan misi secara jelas kemudian memberikan kebebasan seluruh aparat menentukan cara masing-masing mencapai misi tersebut.
5.      Pemerintah yang berorientasi pada hasil yang mengutamakan penganggaran untuk membiayai hasil dan bukan masukan.
6.      Pemerintaha yang berorientasi pada pelanggan yang berusaha memuaskan pelanggan buka aparat birokrasi. Intinya adalah kekuasaan masyrakat penerima jasa pelayanan merupakan tujuan utama dari setiap kegiatan.
7.      Pemerintahan wirausaha yang menghasilkan ketimbang membelanjakan. Intinya Pemerintah harus dapat menghasilkan pendapatan bukan semata mata menghabiskan anggaran
8.      Pemerintah antisipatif yang mengutamakan pencegahan dari pada pengobatan. Intinya mencegah timbulnya masalah daripada menyelesaikan masalah.
9.      Pemerintah desentralisasi meninggalkan hirarki menuju partisipasi dan tim kerja. Kewenangan diberikan pada aparat tingkat bawah yang melakukan pelayanan pada lini terdekat masyarakat. Jenjang organisasi disederhanakan menuju struktur organisasi yang datar ( flat )
10.  Pemerintah yang berorientasi pada pasar dimana berbagai perubahan didorong oleh pasar. Intervensi pemerintah dihindarkan sigantikan oleh kekuatan pasar dalam menjalankan fungsi pelayanan.